Kategori: Uncategorized

  • Pinisi yang sekarang menjadi kapal pariwisata

    Pinisi yang sekarang menjadi kapal pariwisata

    Istilah pinisi, atau phinisi mengacu pada jenis sistem layar (rig), tiang-tiang, layar, dan konfigurasi tali dari suatu jenis kapal layar Indonesia. Sebuah pinisi membawa tujuh hingga delapan layar dengan dua tiang, diatur seperti gaff-ketch dengan apa yang disebut standing gaffs — yaitu, tidak seperti kebanyakan kapal Barat yang menggunakan sistem layar semacam itu, kedua layar utama tidak dibuka dengan menarik galahnya ke atas, tetapi layarnya ‘ditarik keluar’ seperti tirai dari sekitar tengah tiang.

    Seperti kebanyakan kapal layar Indonesia, kata ‘pinisi’ hanya menyebut jenis sistem layar, dan tidak merujuk pada bentuk lambung kapal yang menggunakan layar tersebut. Kapal dengan layar pinisi sebagian besar dibangun oleh masyarakat desa Ara yang berbahasa Makassar, sebuah desa di Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dan banyak digunakan oleh pelaut suku Makassar sebagai kapal kargo (lihat pula #Kesalahpahaman umum mengenai pinisi). Pada tahun-tahun sebelum hilangnya angkutan bertenaga angin dalam rangka motorisasi armada perdagangan tradisional Indonesia pada tahun 1970/80-an, kapal yang menggunakan sistem layar pinisi adalah kapal layar Indonesia terbesar.

    UNESCO menetapkan seni pembuatan kapal Pinisi sebagai Karya Agung Warisan Manusia yang Lisan dan Takbenda pada Sesi ke-12 Komite Warisan Budaya Unik pada tanggal 7 Desember 2017

    Etimologi dan asal mula

    Penyebutan paling awal, baik dalam sumber asing maupun dalam negeri, istilah ‘pinisi’ yang jelas-jelas mengacu pada jenis kapal layar dari Sulawesi ditemukan dalam artikel tahun 1917 di majalah Belanda Coloniale Studiën: “… kapal dengan sistem layar sekunar cara Eropa.” Memang, catatan penggunaan sistem layar depan-belakang tipe Eropa pada kapal-kapal pribumi Nusantara baru dimulai pada paruh pertama abad ke-19, dan baru pada awal abad ke-20 sejumlah besar kapal dari Sulawesi dilengkapi dengan layar seperti itu.Hingga pertengahan abad ke-20, para pelaut Sulawesi sendiri menyebut kapal mereka dengan istilah palari, jenis lambung yang paling cocok untuk tenaga penggerak layar pinisi

    Ada berbagai tradisi lokal yang mengklaim asal mula kata ‘pinisi’ dan jenis kapal yang lebih awal, namun banyak di antaranya hanya dapat ditelusuri kembali ke dua hingga tiga dekade terakhir. Pembuat kapal Ara dan Lemo-Lemo, pusat pembuatan kapal kedua di wilayah tersebut, menghubungkan kemahiran mereka dalam arsitektur kapal laut (dan, tergantung pada sumbernya, pembuatan pinisi pertama) pada Sawerigading, salah satu protagonis utama dalam epos Bugis Sureq Galigo: Untuk menghindari hubungan inses yang akan terjadi ketika dia jatuh cinta dengan saudara kembarnya, Sawerigading diberikan sebuah kapal yang dibangun secara ajaib untuk berlayar ke tempat di mana seorang gadis yang mirip dengannya dikatakan tinggal; ketika dia melanggar janjinya untuk tidak pernah kembali, kapal itu tenggelam; lunas, rangka, papan, dan tiangnya, yang terdampar di pantai ketiga desa, dipasang kembali oleh penduduk setempat, yang dengan demikian belajar cara membuat dan berlayar kapal. Perlu dicatat bahwa dalam epos itu Sawerigading kembali ke tanah airnya, bersama dengan istri barunya dan menjadi penguasa dunia bawah, dan bahwa istilah pinisi tidak muncul dalam manuskrip mana pun yang dapat diakses mengenai cerita epos itu. Dapat dipahami bahwa mitos itu mendukung masyarakat Bonto Bahari dalam ketergantungan mereka pada pembuatan kapal sebagai cara hidup, membenarkan monopoli mereka pada pembangunan kapal semacam itu.

    Menurut sebuah tradisi setempat, nama pinisi diberikan oleh seorang raja Tallo, I Mangnginyarrang Daéng Makkiyo, kepada perahunya. Namanya berasal dari dua kata, yaitu “picuru” (artinya “contoh yang baik”), dan “binisi” (sejenis ikan kecil, lincah dan tangguh di permukaan air dan tidak terpengaruh oleh arus dan ombak).

    Sumber lain menyatakan bahwa nama pinisi berasal dari kata panisi (kata Bugis, berarti “sisip”), atau mappanisi (menyisipkan), yang mengacu pada proses mendempul. Karena lopi dipanisi berarti perahu yang disisip/didempul, telah disarankan bahwa kata panisi mengalami perubahan fonemis menjadi pinisi.

    Nama itu juga mungkin berasal dari pinasse, kata Jerman dan Perancis yang menandai kapal layar ukuran sedang (bukan kata Inggris pinnace yang pada waktu itu menandai sejenis sekoci dayung dan bukan sebuah perahu layar). Kata ini diserap menjadi pinas atau penis oleh orang Melayu setelah tahun 1846.

    Sebuah cerita yang mungkin tentang asal usul nama dan jenis kapal didasarkan pada laporan R. S. Ross, saat itu pemilik kapal uap EIC Phlegeton, yang pada kesempatan berkunjung ke Kuala Terengganu, Malaysia, pada tahun 1846 menyaksikan sekunar yang dibangun secara lokal oleh “beberapa penduduk asli yang telah belajar seni pembuatan kapal di Singapura, dan [dibantu] oleh tukang kayu [Tiongkok]”, yang diduga telah menjadi pola dasar untuk pinas atau pinis Terengganu. Tradisi Melayu menyatakan bahwa sekunar ini dibangun atas nama Baginda Omar, Sultan Terengganu (memerintah 1839–1876), mungkin di bawah arahan atau dengan banyak bantuan oleh seorang penjelajah pantai Jerman atau Prancis yang telah “mencapai Terengganu, melalui Malaka dan Singapura, mencari opium cum dignitate“, menjadi pola dasar ‘sekunar Melayu’: pinas/pinis Terengganu, yang pada masa ini memakai layar jung Tiongkok, sampai pergantian abad ke-20 umumnya dipasang dengan layar gap-keci.

    Namun, sekitar waktu yang sama, sumber-sumber Belanda mulai mencatat jenis baru kapal layar yang digunakan secara lokal yang didaftarkan oleh syahbandar di bagian barat Kepulauan Melayu sebagai ‘penisch’, ‘pinisch’, atau ‘phinis'(!); pada akhir abad ke-19 penggunaan kapal semacam itu rupanya telah menyebar ke Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Kata itu sendiri mungkin diambil dari pinasse atau peniche bahasa Belanda, Jerman atau Prancis, pada saat itu merupakan nama untuk kapal layar berukuran kecil hingga sedang yang agak tidak ditentukan.Kata ‘pinnace’ dalam bahasa Inggris sedari abad ke-18 merujuk pada salah satu perahu yang dibawa kapal perang atau kapal dagang yang lebih besar.

    Deskripsi umum

    Sebuah kapal bersistem layar pinisi memiliki tujuh hingga delapan layar pada dua tiang, diatur dengan cara yang mirip dengan sekunar-keci: disebut ‘sekunar’ karena semua layarnya adalah layar ‘depan-belakang’, berbaris di sepanjang garis tengah dari lambung pada dua tiang; dan disebut ‘keci’, karena tiang di buritan kapal agak lebih pendek daripada yang ada di haluan.

    Layar agung besar bentuknya berbeda dari sistem layar gap gaya barat, karena mereka sering tidak memiliki bom dan layarnya tidak diturunkan dengan gap. Sebaliknya layar itu digulung menuju menuju tiang, seperti tirai, sehingga memungkinkan gapnya untuk digunakan sebagai derek geladak di pelabuhan. Bagian bawah tiang itu sendiri mungkin menyerupai tripod atau terbuat dari dua tiang (bipod).

    Kapal bersistem layar pinisi (palari) memiliki panjang sekitar 50–70 kaki (15,24–21,34 m), dengan garis air saat muatan ringan 34–43 kaki (10,36–13,1 m). alari yang kecil hanya sepanjang sekitar 10 meter

    Pada 2011 sebuah PLM (perahu layar motor) bersistem layar pinisi besar telah diselesaikan di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Ia memiliki panjang 50 m dan lebarnya 9 m, dengan kapasitas sekitar 500 ton

    Jenis lambung kapal pinisi

    Ada beberapa jenis kapal bersistem layar pinisi, tetapi pada umumnya ada 2 jenis:

    1. Palari adalah bentuk awal lambung pinisi dengan lunas yang melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis Lamba. Biasanya dikemudikan dengan 2 kemudi (rudder) samping di buritan. Jenis yang sudah bermesin juga dilengkapi kemudi di belakang baling-baling, tetapi kebanyakan kapal pinisi bermesin menggunakan lambung jenis lambo.
    2. Lamba atau lambo. Pinisi modern yang masih bertahan sampai saat ini dan dilengkapi dengan motor diesel (PLM—Perahu Layar Motor) menggunakan lambung ini. Lambung ini menggunakan 1 kemudi tengah, tetapi beberapa ada yang memiliki 2 kemudi samping sebagai hiasan/tambahan saja.

     

    Sejarah

    Menurut legenda

    Ada beberapa sumber dari internet yang mengatakan bahwa kapal jenis pinisi sudah ada dari abad ke-14, dan mengaitkannya dengan naskah Sureq Lagaligo yang bercerita tentang kisah Sawerigading. Namun klaim itu terbukti mengada-ngada karena sudah dibantah oleh penelitian terhadap naskah itu sendiri. Nama perahu dan kapal yang terdapat pada naskah itu adalah waka(q), wakka(q), wakang, wangkang, padewakang, joncongeng, banawa, pelapangkuru, binannong, pangati, dan lopi. Perahu yang membawa Sawerigading ke negeri Cina (bukan Tiongkok, tapi Tana Ugi, Ale Cina, di sisi timur Sulawesi Selatan) sendiri disebut waka Wélenrénngé (perahu yang terbuat dari pohon Wélenréng), ia terbuat dari satu batang pohon saja (dugout canoe atau perahu lesung), dilengkapi dengan cadik dan katir.

    Menurut penelitian

    Pada abad ke-19, para pelaut Sulawesi mulai menggabungkan layar-layar persegi panjang besar dari layar tanjaq dengan jenis-jenis layar depan dan belakang yang mereka lihat di kapal-kapal Eropa yang berkeliaran ke Nusantara. Sejak awal abad ke-18, VOC mulai membangun kapal-kapal bergaya Eropa untuk perdagangan inter Asia di galangan-galangan Jawa, sehingga terus memperkenalkan metode konstruksi dan rig baru, termasuk versi Belanda dari layar depan dan belakang yang baru. Selama abad ke-19, angkatan laut kolonial dan perusahaan perdagangan Eropa, India, dan Tiongkok mengoperasikan sekunar Barat yang jumlahnya terus meningkat; tetapi, meskipun laporan sejak awal tahun 1830 menyebutkan perahu, “sekunar dengan layar kain”, digunakan oleh ‘bajak laut’ yang beroperasi di Selat Malaka.

    Pinisi berevolusi dari lambung dasar padewakang dengan layar depan dan belakang ke model lambungnya sendiri dengan “layar pinisi” pribumi. Selama dekade-dekade evolusi ini, para pelaut Indonesia dan pembangun kapal mengubah beberapa fitur dari sekunar barat yang asli. Pinisi asli Sulawesi pertama diperkirakan dibangun pada tahun 1906 oleh pengrajin perahu Desa Ara dan Lemo-Lemo, mereka membangun perahu penisiq [salah sebut] pertama untuk seorang nakhoda Bira.

    Pada mulanya, layar sekunar dipasang di atas lambung padewakang, tetapi setelah beberapa lama pedagang Sulawesi memutuskan untuk menggunakan palari berhaluan tajam yang lebih cepat. Seluruh lambung adalah ruang kargo, dan hanya ada kabin kecil untuk kapten ditempatkan di dek buritan, sementara kru tidur di dek atau di ruang kargo. Dua kemudi panjang yang dipasang di sisi buritan seperti yang digunakan pada padewakang, dipertahankan sebagai perangkat kemudi.

    Sejak tahun 1930-an, kapal layar ini mengadopsi jenis layar baru, yaitu layar nade, yang berasal dari cutter dan sloop yang digunakan oleh pencari mutiara Barat dan pedagang kecil di Indonesia Timur

    Selama tahun 1970-an semakin banyak palari-pinisi yang dilengkapi dengan mesin, lambung dan layar kapal tradisional Indonesia dengan cepat berubah: Karena desain lambung pribumi tidak cocok untuk dipasangkan mesin, lambung tipe lambo menjadi alternatif. Pada tahun-tahun berikutnya, kapasitas muatan terus ditingkatkan, hingga hari ini rata-rata Perahu Layar Motor (PLM) dapat memuat hingga 300 ton.

    Karena layar mereka hanya digunakan untuk mendukung mesin, layar belakang dari hampir semua PLM dihilangkan. Pada kapal yang lebih besar dipasang sebuah rig pinisi, sementara kapal berukuran sedang dipasang dengan layar nade. Namun, karena tiang mereka terlalu pendek dan area layarnya terlalu kecil, kapal ini tidak dapat bergerak hanya dengan layar, sehingga mereka menggunakannya hanya pada angin yang menguntungkan

    Pembangunan Pinisi

    Upacara kurban untuk pembuatan perahu pinisi adalah salah satu dimana kemegahan pinisi dilahirkan. Para pembuat perahu tradisional ini, yakni: orang-orang Ara, Tana Lemo dan Bira, yang secara turun temurun mewarisi tradisi kelautan nenek moyangnya. Upacara ritual juga masih mewarnai proses pembuatan perahu ini, hari baik untuk mencari kayu biasanya jatuh pada hari ke lima dan ketujuh pada bulan yang berjalan. Angka 5 (naparilimai dalle’na) yang artinya rezeki sudah ditangan. Sedangkan angka 7 (natujuangngi dalle’na) berarti selalu dapat rezeki. Setelah dapat hari baik, kepala tukang yang disebut “punggawa” memimpin pencarian.

    Sebelum pohon ditebang, dilakukan upacara untuk mengusir roh penghuni kayu tersebut. Seekor ayam dijadikan sebagai korban untuk dipersembahkan kepada roh. Jenis pohon yang ditebang itu disesuaikan dengan fungsi kayu tersebut. Pemotongan kayu untuk papan selalu disesuaikan dengan arah urat kayu agar kekuatannya terjamin. Setelah semua bahan kayu mencukupi, barulah dikumpulkan untuk dikeringkan.

    Peletakan lunas juga memakai upacara khusus. Waktu pemotongan, lunas diletakkan menghadap Timur Laut. Balok lunas bagian depan merupakan simbol lelaki. Sedang balok lunas bagian belakang diartikan sebagai simbol wanita. Setelah dimantrai, bagian yang akan dipotong ditandai dengan pahat. Pemotongan yang dilakukan dengan gergaji harus dilakukan sekaligus tanpa boleh berhenti. Karena itu, pemotongan harus dilakukan oleh orang yang bertenaga kuat.

    Ujung lunas yang sudah terpotong tidak boleh menyentuh tanah. Bila balok bagian depan sudah putus, potongan itu harus dilahirkan untuk dibuang ke laut. Potongan itu menjadi benda penolak bala dan dijadikan kiasan sebagai suami yang siap melaut untuk mencari nafkah. Sedangkan potongan balok lunas bagian belakang disimpan di rumah, dikiaskan sebagai istri pelaut yang dengan setia menunggu suami pulang dan membawa rezeki.

    Pemasangan papan penjepit lunas, disertai dengan upacara Kale Biseang. Upacara Anjarreki yaitu untuk penguatan lunas, disusul dengan penyusunan papan dari bawah dengan ukuran lebar yang terkecil sampai keatas dengan ukuran yang terlebar. Jumlah seluruh papan dasar untuk perahu pinisi adalah 126 lembar. Setelah papan teras tersusun, diteruskan dengan pemasangan buritan tempat meletakkan kemudi bagian bawah.

    Apabila badan perahu sudah selesai dikerjakan, dilanjutkan dengan pekerjaan a’panisi, yaitu memasukkan majun pada sela papan. Untuk perekat sambungan papan supaya kuat, digunakan sejenis kulit pohon barruk. Selanjutnya, dilakukan allepa, yaitu mendempul. Bahan dempul terbuat dari campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk selama 12 jam, dikerjakan sedikitnya 6 orang. Untuk kapal seberat 100 ton, diperlukan 20 kg dempul badan kapal. Sentuhan terakhir adalah menggosok dempul dengan kulit pepaya.

    Proses terakhir kelahiran pinisi adalan peluncurannya. Upacara selamatan diadakan lagi. Peluncuran kapal diawali dengan upacara adat Appasili, yaitu ritual yang bertujuan untuk menolak bala. Kelengkapan upacara berupa seikat dedaunan yang terdiri dari daun sidinging, sinrolo, taha tinappasa, taha siri, dan panno-panno yang diikat bersama pimping. Dedaunan dimasukkan ke dalam air dan kemudian dipercikkan dengan cara dikibas-kibaskan ke sekeliling perahu. Untuk perahu dengan bobot kurang dari 100 ton, biasanya dipotong seekor kambing. Sedangkan untuk kapal 100 ton keatas, dipotong seekor sapi. Setelah dipotong kaki depan kambing atau sapi dipotong bagian lutut kebawah digantung di anjungan sedangkan kaki belakang digantung di buritan pinisi, maknanya adalah memudahkan saat peluncurannya seperti jalannya binatang secara normal. Selanjutnya ada upacara Ammossi, yaitu upacara pemberian pusat pada pertengahan lunas perahu dan setelah itu perahu ditarik ke laut. Pemberian pusat ini merupakan istilah yang didasarkan pada kepercayaan bahwa perahu ialah ‘anak’ punggawa atau Panrita Lopi sehingga dengan demikian berdasarkan kepercayaan maka upacara Ammossi merupakan simbol pemotongan tali pusar bayi yang baru lahir. Ketika pinisi sudah mengapung di laut, barulah dipasang layar dan dua tiang. Layarnya berjumlah tujuh. Kapal yang diluncurkan biasanya sudah siap dengan awaknya. Peluncuran kapal dilaksanakan pada waktu air pasang dan matahari sedang naik. Punggawa alias kepala tukang, sebagai pelaksana utama upacara tersebut, duduk di sebelah kiri lunas. Doa, atau lebih tepatnya mantra, pun diucapkan.

    Pinisi masa kini

    Di era globalisasi phinisi sebagai kapal barang berubah fungsi menjadi kapal pesiar mewah komersial maupun ekspedisi yang dibiayai oleh investor lokal dan luar negeri, dengan interior mewah dan dilengkapi dengan peralatan menyelam, permainan air untuk wisata bahari dan awak yang terlatih dan diperkuat dengan teknik modern. Salah satu contoh kapal pesiar mewah terbaru adalah Silolona berlayar di bawah bendara.

    Seperti banyak jenis kapal tradisional lainnya, pinisi telah dilengkapi dengan motor, sebagian besar sejak tahun 1970. Ini telah mengubah penampilan kapal itu. Sebanding dengan dhow modern, tiang-tiangnya telah diperpendek, atau dihilangkan ketika crane geladak lenyap sepenuhnya, sementara struktur di geladak, biasanya belakang, telah diperbesar untuk awak dan penumpang. Pada awal 1970-an, ribuan kapal pinisi-palari berukuran hingga 200 ton kargo, armada kapal berlayar komersial terbesar di dunia pada saat itu, telah menghubungi semua penjuru perairan Indonesia dan menjadi tulang rusuk perdagangan rakyat.

    Pinisi dimodifikasi menjadi kapal pembawa penyelam oleh investor asing untuk tujuan pariwisata. Salah satu contohnya adalah bahwa perahu tersebut digunakan sebagai pitstop untuk The Amazing Race.

    Kapal pinisi juga menjadi lambang untuk gerakan WWF yaitu #SOSharks, program pelestarian ikan hiu dari WWF, dan pernah digunakan oleh perusahaan terkenal di Indonesia yaitu Bank BNI.

    Kesalahpahaman umum mengenai pinisi

    Berikut adalah kesalahpahaman umum tentang pinisi, yang banyak dicantumkan pada media-media terutama di internet.

    • Bahwa pinisi adalah nama kapal. Yang benar adalah nama sistem layar (rigging). Kapal yang biasa disebut pinisi adalah kapal yang dipasangkan sistem layar itu, misalnya lambo dan palari.
    • Pinisi sudah ada sejak ratusan tahun lalu, sekitar abad ke-14. Sebenarnya kapal bersistem layar pinisi baru ada setelah tahun 1900.
    • Pada zaman dahulu ada kapal pinisi yang mengunjungi pelabuhan Venesia, Italia. Penelitian tentang catatan historis dari Hindia Belanda dan Italia tidak pernah mencatat kapal pinisi yang sampai disana pada masa lalu.
    • Pinisi adalah asli ciptaan pribumi. Sebenarnya, sistem layar pinisi meniru sistem layar schoonerketch (sekunar-keci) Eropa.Yang membedakan adalah cara menggulung layarnya, layar schooner Eropa digulung ke atas, sedangkan layar pinisi digulung memanjang ke arah depan
    • Pinisi dibangun oleh orang Makassar dan Bugis. Yang benar adalah pinisi dibuat oleh orang Bira, Ara, Lemo-Lemo, dan Tana Beru yang merupakan suku Konjo

    Peran Kapal Pinisi dalam Sejarah Kemaritiman

    Kapal Pinisi, yang berasal dari Suku Bugis, dahulu digunakan para leluhur sebagai sarana mencari nafkah yang melibatkan perjalanan hingga ke Eropa dan Afrika. Ketenaran kapal ini bahkan tercermin dalam mata uang Indonesia, salah satunya pada uang lembar Rp 100 berwarna merah.

    Sejarah mencatat bahwa kapal pinisi digunakan oleh para raja dan pangeran, termasuk Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu, yang dianggap sebagai orang pertama yang membuat kapal pinisi. Kisah menarik terjadi ketika pangeran tersebut menggunakan kapal pinisi untuk pergi ke Tiongkok demi meminang Putri We Cudai. Meski dalam perjalanan itu kapalnya terhantam ombak, serpihan kapal berhasil disatukan kembali oleh tiga desa, salah satunya di Tanah Beru.

    Proses Pembuatan Kapal Pinisi yang Unik

    Pembuatan Kapal Pinisi melibatkan ritual khusus, termasuk dalam pemilihan kayu yang diambil pada hari tertentu menurut tradisi Bugis. Pembuatannya dimulai dari penatahan lunas setelah melalui ritual kecil yang melibatkan makanan-makanan dan ayam jago putih, sebagai simbol harapan akan keselamatan dan keberuntungan. Kapal Pinisi menjadi warisan yang memperkaya sejarah Indonesia, melampaui batas samudera dan membawa keunikan budaya serta teknik tradisional yang masih lestari. Keindahan, keunikan teknik pembuatannya, dan nilai-nilai filosofis dalam setiap tahap pembuatan menjadi bukti akan warisan budaya yang perlu dilestarikan untuk generasi mendatang.

    Bahan Kayu yang Digunakan untuk Membuat Kapal Pinisi

    Bahan kayu yang digunakan dalam pembuatan Kapal Pinisi, kapal tradisional dari Sulawesi Selatan, biasanya adalah jenis kayu yang kuat dan tahan lama. Beberapa jenis kayu yang umumnya digunakan untuk pembuatan Kapal Pinisi antara lain: Kayu Ulin (Ironwood) Kayu Ulin dikenal sebagai kayu yang sangat keras, kuat, dan tahan lama. Hal ini membuatnya menjadi pilihan utama untuk struktur utama kapal seperti lunas (bagian bawah kapal), tiang, dan bagian-bagian penting lainnya yang membutuhkan ketahanan yang tinggi terhadap air laut. Kayu Bangkirai Kayu Bangkirai juga memiliki sifat yang tahan terhadap air dan serangan organisme laut. Sebagai komponen struktural, Bangkirai sering digunakan dalam beberapa bagian kapal untuk memberikan kekuatan dan daya tahan tambahan. Kayu Meranti Kayu Meranti termasuk kayu yang lebih ringan dibandingkan Ulin dan Bangkirai. Penggunaannya lebih sering dalam elemen-elemen yang tidak terlalu terpapar air laut secara langsung, seperti bagian interior atau penutup eksterior kapal. Kayu Cengal Kayu Cengal adalah jenis kayu yang kuat dan memiliki ketahanan yang baik terhadap kondisi lingkungan laut. Digunakan terutama untuk bagian-bagian yang memerlukan kekuatan tambahan pada struktur kapal. Kayu Besi (Belian Wood) Kayu Besi sering digunakan untuk konstruksi bagian bawah kapal karena kekuatan dan ketahanannya terhadap air laut yang tinggi. Pemilihan kayu yang tepat dan kualitas yang baik menjadi kunci dalam membangun Kapal Pinisi yang kokoh, tahan lama, dan dapat berlayar di berbagai kondisi laut. Setiap jenis kayu memiliki keunggulan masing-masing dalam memberikan karakteristik tertentu yang dibutuhkan dalam pembuatan kapal tradisional tersebut

  • Djong (kapal) Kapal khas Indonesia

    Djong (kapal) Kapal khas Indonesia


    Djong (juga disebut jong, jung atau junk) adalah jenis kapal layar kuno yang berasal dari Jawa, dan digunakan secara umum oleh pelaut Jawa dan Sunda; dan pada abad-abad setelahnya, juga oleh pelaut Pegu (suku Mon) dan Melayu. Namanya dari dulu hingga sekarang dieja sebagai “jong” dalam bahasa asalnya, ejaan “djong” sebenarnya adalah romanisasi kolonial Belanda. Djong digunakan terutama sebagai kapal penumpang dan kapal kargo, dapat mencapai Samudra Atlantik pada zaman kuno. Bobot muatan rata-rata adalah 40 sampai 2000 ton mati, dengan bobot mati rata-rata sebesar 1200–1400 ton pada zaman Majapahit. Kerajaan Jawa seperti Majapahit, Kesultanan Demak, dan Kesultanan Kalinyamat menggunakan kapal jenis ini digunakan sebagai kapal perang, tetapi masih dominan sebagai kapal angkut. Kesultanan Mataram biasanya menggunakan jong sebagai kapal dagang bukan kapal perang

    Untuk armada perang mereka, orang Melayu lebih suka menggunakan kapal-kapal panjang dengan syarat air dangkal, berdayung, yang mirip dengan galaxy; contohnya lancaran, penjajap, dan kelulus. Hal ini sangat berbeda dengan orang Jawa yang lebih menyukai kapal-kapal bundar dengan syarat air yang dalam dan dapat mencapai jarak jauh seperti jong dan malangbang. Alasan perbedaan ini adalah karena orang Melayu mengoperasikan kapal mereka di perairan sungai, zona selat terlindung, dan lingkungan kepulauan, sedangkan orang Jawa sering aktif di laut lepas dan berombak tinggi. Setelah pertemuan dengan orang Iberia, baik armada perang orang Jawa maupun Melayu mulai lebih banyak menggunakan ghurab dan ghali.

    Etimologi

    Terdapat pandangan berbeda tentang apakah asal namanya itu dari dialek Cina, atau dari kata bahasa Jawa. Kata jong, jung atau junk dapat berasal dari kata Cina chuán (船, berarti perahu atau kapal). Namun, Paul Pelliot dan Waruno Mahdi menolak asal Cina untuk nama itu. Yang lebih mendekati adalah “jong” (ditransliterasikan sebagai joṅ) dalam bahasa Jawa Kuno yang artinya kapal. Catatan pertama jong dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari sebuah prasasti di Bali yang berasal dari abad ke-11 M. Kata ini masuk bahasa Melayu dan bahasa Cina pada abad ke-15, ketika daftar catatan kata-kata Cina mengidentifikasikannya sebagai kata Melayu untuk kapal  dengan demikian secara praktis menolak asal kata Cina untuk nama itu.Undang-Undang Laut Melaka, peraturan maritim yang disusun oleh pemilik kapal Jawa di Melaka pada akhir abad ke-15, sering menggunakan kata jong untuk menyebut kapal pengangkut barang. Tulisan-tulisan Eropa dari tahun 1345 hingga 1609 menggunakan berbagai istilah terkait, termasuk jonque (Prancis), ioncque, ionct, giunchi, zonchi (Italia), iuncque, joanga, juanga (Spanyol), junco (Portugis), dan ionco, djonk, jonk (Belanda).

    Asal kata “junk” dalam bahasa Inggris, dapat ditelusuri ke kata Portugis “junco“, yang diterjemahkan dari kata Arab j-n-k (جنك). Kata ini berasal dari fakta bahwa aksara Arab tidak dapat mewakili digraf “ng”. Kata itu dulunya digunakan untuk menunjukkan baik kapal Jawa / Melayu (jong) dan kapal Cina (chuán), meskipun keduanya merupakan kapal yang sangat berbeda. Setelah hilangnya jong pada abad ke-17, makna kata “junk” (dan kata-kata serupa lainnya dalam bahasa Eropa), yang sampai saat itu digunakan sebagai transkripsi kata “jong” dalam bahasa Jawa dan Melayu, berubah artinya menjadi hanya merujuk kapal Cina saja.

    Teknologi perkapalan Cina mempunyai sejarah yang lama sejak Dinasti Han (220 SM–200 M), tetapi pada saat ini masih berupa kapal-kapal pengarung sungai, bukan pengarung samudra. Untuk mengarungi samudra, orang Cina pada waktu itu justru lebih suka menumpang kapal-kapal negeri K’un-lun, yang merujuk pada Indonesia, atau lebih spesifiknya Jawa atau Sumatra.Orang-orang Nusantara biasanya menyebut kapal Cina yang besar sebagai “wangkang”, sedangkan yang kecil sebagai “top”.Ada juga sebutan dalam bahasa Melayu “cunea”, “cunia”, dan “cunya” yang berasal dari dialek Amoy Cina 船仔 (tsûn-á), yang merujuk pada kapal Cina sepanjang 10–20 m.

    Kata “djong” sendiri adalah penulisan Belanda untuk jong, karena huruf j ditulis sebagai “dj”, sedangkan pada penulisan di Indonesia digunakan kata jong

    Para pelayar Nusantara

    Kepulauan Nusantara dikenal untuk produksi jung-jung besar. Tatkala pelaut Portugis mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa. Di sana banyak saudagar dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan internasional. Banyak tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang memvisualkan perahu bercadik—belakangan disebut sebagai “Kapal Borobudur”.

    Untuk melintasi samudra, orang-orang Austronesia menciptakan layar lug yang seimbang (atau yang biasa disebut layar tanja), mungkin dikembangkan dari versi tiang tetap dari layar cakar kepiting.Sistem layar jung yang biasa digunakan di kapal Tiongkok sepertinya dikembangkan dari layar tanja

    Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa.Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.[5]:241 Juga pada era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya. Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludovico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa selatan berlayar ke “negeri jauh di selatan” hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana siang harinya hanya berlangsung selama empat jam dan “lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun”. Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.

    Orang Austronesia menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala. Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa. Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an

    Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata

     peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkeh, navigasi orang Cina dan Gore, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya seorang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda, asal pala dan fuli pala, dan tanah raja Siam, dan juga akhir dari navigasi orang Cina, arah yang dilaluinya, dan bagaimana mereka tidak bernavigasi lebih jauh.
    — Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.

    Sebuah catatan Portugis menggambarkan bagaimana orang Jawa sudah memiliki keterampilan pelayaran tingkat lanjut dan pernah berkomunikasi dengan Madagaskar pada tahun 1645

    Orang Jawa adalah orang-orang yang sangat berpengalaman dalam seni navigasi, sampai mereka dianggap sebagai perintis seni paling kuno ini, walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Cina lebih berhak atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka kepada orang Jawa. Tetapi yang pasti adalah orang Jawa dulunya berlayar ke Tanjung Harapan dan mengadakan hubungan dengan pulau São Lourenço (San Laurenzo — Madagaskar), dimana sekarang banyak dijumpai penduduk asli berkulit cokelat di pulau itu yang mirip orang Jawa yang mengatakan bahwa mereka adalah keturunan orang Jawa.

    — Diogo do Couto, Decada Quarta da Asia

    Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi memiliki hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan. Bagian-bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma’anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu. Orang Ma’anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.  Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika

    Deskripsi.

    Duarte Barbosa melaporkan bahwa kapal-kapal dari Jawa, disebut junco, yang memiliki empat tiang, sangat berbeda dari kapal Portugis. Terbuat dari kayu yang sangat tebal, dan ketika kapal menjadi tua, mereka memperbaikinya dengan papan baru dan dengan cara ini mereka memiliki tiga hingga empat papan penutup, ditumpuk berlapis. Tali dan layar dibuat dari anyaman rotan  Kapal jung Jawa dibuat menggunakan kayu jati sedangkan pada saat awal abad ke-16, jung Cina masih menggunakan kayu lunak sebagai bahan utamanya. Lambung kapal Jawa dibentuk dengan menggabungkan papan ke lunas dan kemudian ke satu sama lain dengan pasak dan paku kayu, tanpa menggunakan baut atau paku besi. Rangka akan dibangun belakangan (konstruksi “kulit terlebih dahulu”). Papannya dilubangi oleh bor tangan dan dimasukkan dengan pasak, yang tetap berada di dalam papan-papan itu, tidak terlihat dari luar. Kapal itu juga sama-sama lancip pada kedua ujungnya, dan membawa dua kemudi yang mirip dayung dan menggunakan layar tanja, tetapi ia juga dapat menggunakan layar jung, jenis layar yang berasal dari Indonesia. Di atas tiang ada top atau gávea (semacam tempat observasi), yang digunakan untuk pengamatan dan pertempuran. Mereka sangat berbeda dari kapal Cina, yang lambungnya disambung oleh paku besi dan papannya disambung ke rangka dan ke sekat yang membagi ruang kargo. Kapal Cina memiliki kemudi tunggal di buritan, dan (kecuali di Fujian dan Guangdong) mereka memiliki bagian bawah yang rata tanpa lunas

    Penggambaran historis juga menunjukan adanya bowsprit (tiang cucur) dan layar cucur, dan juga adanya stempost (linggi haluan) dan sternpost (linggi buritan).[Memanjang dari bagian depan sampai belakang terdapat struktur seperti rumah, dimana orang-orang terlindung dari panasnya matahari, hujan, dan embun. Di buritan terdapat sebuah kabin untuk nakhoda kapal. Kabin ini berbentuk bujur sangkar dan menonjol (“menggantung”) di atas buritan bawahnya yang tajam (linggi belakang), menggantung keluar di atas air seperti sebuah kasus petani.Haluannya juga memiliki platform persegi yang menganjur di atas linggi depan, untuk tiang cucur dan perisai meriam yang menghadap ke depan (disebut apilan atau tampilan pada bahasa Melayu).Sebuah jong dapat membawa hingga 100 berço (artileri yang diisi dari belakang—kemungkinan merujuk pada meriam cetbang lokal).Seperti kapal Asia Tenggara lainnya, jong dikemudikan menggunakan 2 kemudi samping. Menurut bapa Nicolau Perreira, jong mempunyai 3 kemudi, satu di setiap sisi dan satu di tengah. Ini mungkin mengacu pada jong hibrida, dengan kemudi tengah seperti yang ada di kapal Cina (kemudi tengah menggantung) atau kemudi tengah Barat (kemudi pintle dan gudgeon). Kemungkinan lainnya ini adalah dayung panjang untuk membantu manuver di pelabuhan. Sebuah jong memiliki rasio lebar terhadap panjang sebesar 1:3 sampai 1:4, yang membuatnya masuk ke kategori “kapal bundar” (round ship)

    Barbosa juga melaporkan berbagai barang yang dibawa oleh kapal-kapal ini, yang meliputi beras, daging sapi, domba, babi, dan rusa, baik dikeringkan dan maupun diasinkan, juga banyak ayam, bawang putih, dan bawang. Senjata yang diperdagangkan termasuk tombak, belati, dan pedang, semuanya dengan logam berornamen dan baja yang sangat bagus. Juga dibawa dengan mereka kemukus dan pewarna kuning yang disebut cazumba (kasumba) dan emas yang diproduksi di Jawa. Barbosa menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi kapal-kapal ini, yang meliputi Maluku, Timor, Banda, Sumatra, Melaka, Cina, Tenasserim, Pegu, Benggala, Pulicat, Koromandel, Malabar, Cambay (Khambat), dan Aden. Dari catatan penulis lain, dapat diketahui bahwa ada juga yang pergi ke Maladewa, Calicut (Kozhikode), Oman, Aden, dan Laut Merah. Para penumpang membawa istri dan anak-anak mereka, bahkan sampai-sampai beberapa dari mereka tidak pernah meninggalkan kapal untuk pergi ke pantai, juga tidak memiliki tempat tinggal lain, karena mereka dilahirkan dan mati di kapal.Dari catatan historis, diketahui bahwa kapal yang terbuat dari kayu jati dapat bertahan hingga 200 tahun

     

    Ukuran dan konstruksi jung Jawa membutuhkan keahlian dan material yang belum tentu terdapat di banyak tempat, oleh karena itu jung Jawa raksasa hanya di produksi di 2 tempat di sekitar Jawa. Tempat itu adalah di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang–Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya; dibuat oleh orang Jawa. Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.Orang-orang Mon di Pegu (sekarang Bago) juga memproduksi jong dengan menggunakan kayu jati Burma.

    Meskipun pada abad ke-16 orang Melayu di Malaka memiliki jong, jong-jong itu tidak dibangun oleh orang Melayu atau oleh Kesultanan Malaka. Malaka hanya memproduksi kapal kecil, bukan kapal besar. Industri pembuatan kapal besar tidak ada di Malaka — industri mereka tidak mampu memproduksi kapal laut dalam; hanya perahu kecil, ringan, dan dapat berlayar cepat. Orang-orang Malaka membeli kapal besar (jong) dari daerah lain di Asia Tenggara, yakni dari Jawa dan Pegu, mereka tidak memproduksinya

    Sejarah

    Zaman awal

    Pada milenium pertama Masehi, dicatat kapal kolandiaphonta dalam Geography karya Claudius Ptolemaeus (sekitar tahun 150 M). Ia disebut oleh Cina sebagai K’un-lun po. Ciri-ciri kapal ini adalah berukuran besar (panjang lebih dari 50–60 m), memiliki papan berlapis, tidak bercadik, dipasang dengan banyak tiang dan layar, layar berupa layar tanja, dan memiliki teknik pengikat papan berupa ikatan dengan serat tumbuh-tumbuhan

    Faxian (Fa Hsien) dalam perjalanan pulangnya ke Cina dari India (413–414) menaiki sebuah kapal yang berisi 200 penumpang dan pelaut dari K’un-lun yang menarik kapal yang lebih kecil. Topan menghantam dan memaksa sebagian penumpang untuk pindah ke kapal yang lebih kecil, akan tetapi awak kapal kecil takut kapalnya akan kelebihan muatan, dan melepas tali pengikat untuk berpisah dari kapal besar. Untungnya kapal besar tidak tenggelam dan menjadikan penumpangnya terdampar di Ye-po-ti (Yawadwipa—Jawa). Setelah 5 bulan, awak dan penumpangnya menaiki kapal lain yang sebanding dalam ukurannya untuk berlayar ke Cina

    Perkapalan laut Cina tidak ada sampai akhir dinasti Song (kapal mereka hanya sebatas kapal sungai), kapal yang digunakan orang Cina untuk mengarungi samudra pada masa sebelum ini berasal dari negeri K’un-lun (Nusantara) dan India.Kapal jung Cina selatan didasarkan pada kapal Nusantara berlapis papan banyak dan berlunas. Kapal jung Cina selatan menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.Kapal-kapal Cina utara memiliki dasar lambung yang rata, tidak memiliki lunas, tanpa rangka (hanya sekat kedap air), buritan dan haluan berbentuk kotak/persegi, dibuat dari kayu pinus atau cemara, dan papannya diikat dengan paku besi atau penjepit

    Pada 1178, petugas bea cukai Guangzhou Zhou Qufei, menulis dalam Lingwai Daida tentang kapal-kapal negeri selatan:

    Kapal yang berlayar di laut selatan (laut Cina Selatan) dan selatannya lagi (samudra Hindia) seperti rumah raksasa. Ketika layarnya mengembang mereka seperti awan besar di langit. Kemudi mereka panjangnya mencapai puluhan kaki. Sebuah kapal dapat membawa beberapa ratus orang, dan bekal beras untuk setahun. Babi diberi makan di dalamnya dan wine difermentasikan saat berlayar. Tidak ada laporan dari orang yang masih hidup atau sudah meninggal, bahwa mereka tidak akan kembali ke daratan saat mereka sudah berlayar ke lautan yang biru. Saat fajar, ketika gong berdentum di kapal, hewan-hewan dapat minum, kru dan penumpang sama-sama melupakan segala bahaya. Bagi siapapun yang naik semuanya tersembunyi dan hilang dalam angkasa, gunung-gunung, daratan-daratan, dan negeri-negeri asing. Pemilik kapal dapat berkata “Untuk mencapai negeri-negeri tersebut, dengan angin yang menguntungkan, dalam beberapa hari, kita pasti melihat gunung-gunung, dan kapal ini harus disetir ke arahnya”. Tapi jika angin melambat, dan tidak cukup kuat untuk dapat melihat gunung dalam waktu yang ditentukan; pada kasus itu baringan mungkin harus diubah. Dan kapalnya bisa berjalan jauh melewati daratan dan kehilangan posisinya. Angin kuat mungkin muncul, kapalnya dapat terbawa kesana dan kemari, mungkin dapat bertemu dengan beting atau terdorong ke atas batu-batu tersembunyi, maka itu mungkin dapat merusak sampai ke atap rumah di atas deknya. Sebuah kapal besar dengan kargo berat tidak perlu takut akan lautan yang berombak, tetapi di air dangkal ia justru bersedih.

    Kata “jong” sendiri pertama kali tercatat dalam bahasa Jawa Kuno dari sebuah prasasti Bali dari abad ke-11 Masehi. Disebutkan dalam Prasasti Sembiran A IV (1065 M) bahwa para saudagar datang ke Manasa di Bali menggunakan jong dan bahitra. Catatan pertama jong dalam sastra berasal dari Kakawin Bhomantaka, tertanggal akhir abad ke-12 Masehi

    Zaman Majapahit

    Pada 1322 pendeta Odorik dari Pordenone melaporkan bahwa dalam perjalanannya dari India ke Cina ia menumpangi kapal dari tipe zuncum membawa sekitar 700 orang, baik pelaut maupun pedagang.

    Kidung Panji Wijayakrama-Rangga Lawe (disusun seawal tahun 1334 M) menyebut jong bertingkat sembilan (jong sasangawangunan) pada saat peperangan dengan Mongol (1293 M). Ia tampak seperti gunung berapi karena dekorasi awan petirnya yang berkedip-kedip dan berkilauan, layarnya dicat warna merah. Ia membawa 1000 orang dengan perlengkapan gandiwa (busur), bedil, tameng, towok (lembing), kantar (perisai panjang), dan baju rantai.

    Kerajaan Majapahit menggunakan jong secara besar-besaran sebagai kekuatan lautnya. Tidak diketahui berapa tepatnya jumlah total jong yang digunakan oleh Majapahit, tetapi jumlah terbesar jong yang dikerahkan dalam sebuah ekspedisi adalah sekitar 400 jong yang disertai dengan malangbang dan kelulus yang tak terhitung banyaknya, yakni ketika Majapahit menyerang Pasai. Ekspedisi militer terbesar kedua, invasi Singapura pada tahun 1398, Majapahit mengerahkan 300 jong dengan tidak kurang dari 200.000 orang (lebih dari 600 orang di setiap jong).Menurut Pramoedya Ananta Toer, kapal Majapahit yang besar dapat membawa 800–1000 orang dan panjangnya mencapai 50 depa (sekitar 80–100 m).Perhitungan modern berkesimpulan bahwa jong yang umum digunakan oleh Majapahit rata-ratanya dapat membawa 600–700 orang, berbobot mati 1200–1400 ton dan bobot benaman 3333–3889 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 76,18–79,81 m dan panjang dek 69,26–72,55 m. Yang terbesar, membawa 1000 orang, berbobot mati 2000 ton dan bobot benaman 5556 ton, dengan panjang keseluruhan sekitar 88,56 m dan panjang dek 80,51 m. Sebuah jong Bali yang digunakan oleh Bujangga Manik untuk melakukan perjalanan dari Bali ke Blambangan memiliki lebar 8 depa (12,8–16 m) dan panjang 25 depa (40–50 m). Di antara jong terkecil yang tercatat, yang digunakan oleh Chen Yanxiang untuk mengunjungi Korea, panjangnya 33 meter dengan perkiraan kapasitas 220 ton bobot mati, dengan awak 121 orang.

    Sebelum tragedi Bubat tahun 1357, raja Sunda dan keluarganya datang di Majapahit setelah berlayar di laut Jawa dalam armada dengan 200 kapal besar dan 2000 kapal yang lebih kecil. Kapal yang dinaiki keluarga kerajaan adalah sebuah jong hibrida Cina-Asia tenggara bertingkat sembilan (Bahasa Jawa kuno: Jong sasanga wangunan ring Tatar Nagari tiniru). Kapal hibrida ini mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral.Ada singgungan di Nagarakretagama bahwa kapal dan perahu Majapahit dicat warna merah dan hitam

    Buku karangan Wang Dayuan tahun 1349, Daoyi Zhilüe Guangzheng Xia (“Deskripsi Orang Barbar dari Kepulauan”) menjelaskan “perahu kuda” di sebuah tempat bernama Gan-mai-li di Asia Tenggara. Kapal-kapal ini lebih besar dari kapal dagang biasa, dengan sisi lambungnya dibangun dari beberapa papan. Kapal-kapal ini tidak menggunakan paku besi atau mortir untuk menggabungkan mereka, sebaliknya mereka menggunakan serat kelapa. Mereka memiliki dua atau tiga dek, dengan “rumah” di atas dek teratas. Di bagian bawah mereka membawa kemenyan yang sudah ditekan, di atas itu mereka membawa beberapa ratus kuda. Wang menyebutkan secara khusus kapal-kapal ini karena lada, yang juga diangkut oleh mereka, dibawa ke tempat-tempat yang jauh dengan jumlah besar. Kapal dagang biasa biasanya hanya membawa kurang dari 1/10 dari kargo mereka.

    Biasanya, kapal utama menarik kapal “tender” (kapal yang lebih kecil) dibelakangnya untuk pendaratan. Data dari catatan Marco Polo memungkinkan untuk menghitung ukuran kapal-kapal ini, yang terbesar mungkin memiliki bobot burden 500–800 ton, hampir sama dengan kapal-kapal Tiongkok yang digunakan untuk berdagang pada abad ke-19. Kapal kecil itu sendiri mungkin bisa membawa sekitar 70 ton. Marco Polo juga mencatat bahwa mereka mungkin memiliki 2 atau 3 dari kapal tender ini, dan mungkin memiliki sekitar 10 perahu kecil untuk membantu kapal utama, seperti untuk meletakkan jangkar, menangkap ikan, dan membawa perbekalan naik. Saat berlayar, perahu kecil digantung di sisi kapal.

    Niccolò da Conti dalam perjalanannya di Asia tahun 1419–1444, mendeskripsikan kapal yang jauh lebih besar dari kapal Eropa, yang mampu mencapai berat 2.000 ton, dengan lima layar dan tiang. Bagian bawah dibangun dengan tiga lapis papan, untuk menahan kekuatan badai. Tetapi beberapa dari kapal tersebut dibangun dengan kompartemen, sehingga jika satu bagian hancur, bagian lainnya tetap utuh untuk menyelesaikan pelayaran.

    Fra Mauro dalam petanya menjelaskan bahwa sebuah jong berhasil mengitari Tanjung Harapan dan berlayar jauh ke samudra Atlantik, pada tahun 1420:

    Sekitar tahun 1420 M sebuah kapal, yang disebut zoncho India, pada saat melewati samudra Hindia menuju “Pulau Pria dan Wanita”, dialihkan melewati “Tanjung Diab” (Ditunjukan sebagai Tanjung Harapan di peta), melewati “Kepulauan hijau” (“isole uerde”, Pulau Cabo Verde), ke “Lautan kegelapan” (samudra Atlantik) ke arah barat dan barat daya. Tidak ada apa pun kecuali udara dan air yang terlihat selama 40 hari dan menurut perhitungan mereka, mereka berlayar sejauh 2.000 mil sampai keberuntungan meninggalkan mereka. Ketika cuaca mereda mereka kembali ke “Tanjung Diab” dalam 70 hari dan mendekati pantai untuk memenuhi perbekalan mereka, para pelaut melihat telur burung yang disebut roc, yang telurnya sebesar amphora.
    — Tulisan di peta Fra Mauro, 10-A13

    Zaman pelayaran Eropa

    Pedagang Firenze, Giovanni da Empoli (1483–1517), salah satu agen Italia pertama yang bergabung dengan armada Portugis ke India pada 1503–1504, mengatakan bahwa di tanah Jawa, jung tidak berbeda kekuatannya dibanding benteng, karena ia memiliki tiga dan empat lapis papan, satu di atas yang lain, yang tidak dapat dirusak dengan artileri. Mereka berlayar bersama dengan wanita, anak-anak, dan keluarga mereka, dan semua orang mendapat kamarnya sendiri

    Saat melewati Pacem (Samudera Pasai), armada Portugis bertemu dengan dua buah jung, salah satu berasal dari Koromandel, yang segera ditangkap, dan yang lainnya dari Jawa yang beratnya sekitar 600 ton, dekat Polvoreira (kemungkinan Pulau Berhala, 160 mil dari Malaka, diantara Belawan, Medan dan Lumut, Perak). Jung itu membawa 300 orang “Moor” (Muslim) Jawa di atas kapal. Orang Portugis mengirim perahu-perahu kecil untuk mendekatinya, memerintahkannya untuk berhenti tetapi ia segera melepaskan tembakan ke armada, awaknya melemparkan tombak, panah, batu, pot bubuk mesiu, dan bahan yang mudah terbakar. Afonso de Albuquerque mendekatinya dengan seluruh armadanya. Armada Portugis mulai menembaki jung, tetapi peluru meriam mereka memantul pada lambung jung, kemudian jung itu berlayar menjauh. Kapal-kapal Portugis kemudian menembaki tiang-tiang jung yang menyebabkan mereka jatuh. Menjelang fajar, Flor de la Mar (kerakah Portugis tertinggi) berhasil mengejar dan menabrak jung tersebut, sambil menembakkan artileri yang menewaskan 40 awak jung. Jung itu begitu tinggi sehingga benteng belakang Flor de la Mar hampir tidak bisa mencapai jembatannya, dan orang Portugis tidak berani menaikinya. Tembakan bombard mereka tidak merusaknya karena ia memiliki 4 lapis papan, sedangkan meriam terbesar Portugis hanya bisa menembus tidak lebih dari 2 lapis. Ketika orang Portugis mencoba untuk melemparkan kait dan menyerang dalam pertempuran jarak dekat, awak jung membakar jung mereka, memaksa Portugis untuk mundur. Selama pelarian, awak jung berusaha memadamkan api dengan susah payah.Setelah pertempuran selama dua hari dua malam, Albuquerque memutuskan untuk mematahkan kedua kemudi di sisi kapal, menyebabkan kapal itu menyerah. Begitu naik, Portugis menemukan pangeran Geinal (atau Zeinal), putra raja Pasai yang digulingkan oleh kerabatnya. Albuquerque berharap dia dapat dijadikan vasal untuk berdagang. Mereka juga sangat mengagumi jung dan awaknya dan menjulukinya O Bravo (Si Pemberani). Para awak Portugis memohon kepada Fernão Pires untuk membujuk Albuquerque supaya awak jung tersebut diampuni dan dipandang sebagai bawahan dari Portugal yang sama sekali tidak menyadari siapa yang sebenarnya mereka lawan. Albuquerque akhirnya menyetujui ini

    Pada akhir 1512 sampai Januari 1513 Pati Unus dari Kesultanan Demak mencoba mengejutkan Malaka Portugis, membawa sekitar 100 kapal dengan 5.000 tentara Jawa dari Jepara dan Palembang. Sekitar 30 dari mereka adalah jung besar seberat 350–600 ton (pengecualian untuk kapal utama Pati Unus), sisanya adalah kapal jenis lancaran, penjajap, dan kelulus. Ekspedisi itu mungkin melibatkan sampai 12.000 orang. Kapal-kapal itu membawa banyak artileri yang dibuat di Jawa., 177 Meskipun dikalahkan, Pati Unus berlayar pulang dan mendamparkan jung perang berlapis bajanya sebagai monumen perjuangan melawan orang-orang yang disebutnya paling berani di dunia. Ini memenangkannya beberapa tahun kemudian dalam tahta Demak Dalam sebuah surat kepada Afonso de Albuquerque, dari Cannanore, 22 Februari 1513, Fernão Pires de Andrade, kapten armada yang menghalau Pati Unus, mengatakan:

    Jung milik Pati Unus adalah yang terbesar yang dilihat oleh orang-orang dari daerah ini. Ia membawa seribu orang tentara di kapal, dan Yang Mulia dapat mempercayaiku … bahwa itu adalah hal yang sangat luar biasa untuk dilihat, karena Anunciada di dekatnya tidak terlihat seperti sebuah kapal sama sekali. Kami menyerangnya dengan bombard, tetapi bahkan tembakan yang terbesar tidak menembusnya di bawah garis air, dan (tembakan) esfera (meriam besar Portugis) yang saya miliki di kapal saya berhasil masuk tetapi tidak tembus; kapal itu memiliki tiga lapisan logam, yang semuanya lebih dari satu cruzado tebalnya. Dan kapal itu benar-benar sangat mengerikan bahkan tidak ada orang yang pernah melihat sejenisnya. Butuh waktu tiga tahun untuk membangunnya, Yang Mulia mungkin pernah mendengar cerita di Malaka tentang Pati Unus, yang membuat armada ini untuk menjadi raja Malaka.
    — Fernão Pires de Andrade

    Fernão Lopes de Castanheda mencatat bahwa jung Pati Unus dibangun dengan 7 papan, yang disebut lapis dalam bahasa Jawa dan Melayu, di antara tiap papan diberi lapisan yang terdiri dari campuran aspal, kapur, dan minyak. Pati Unus menggunakannya sebagai benteng terapung untuk memblokir area di sekitar Malaka

    Orang Portugis mencatat bahwa kapal besar dan susah dikendalikan itu menjadi kelemahan. Orang Portugis berhasil menghalau serangan itu dengan kapal yang lebih kecil dan lincah, menggunakan taktik melompat naik (boarding) dan membakar jung.Dengan begitu, armada Portugis bisa menghalau jung Jawa dari perairan Malaka. Takjub akan kepiawaian orang Jawa dalam membuat kapal seperti ini, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa dari galangan kapal Malaka dan mengirimnya ke India, dengan harapan bahwa para pengrajin ini dapat memperbaiki kapal-kapal Portugis di India. Akan tetapi mereka tidak pernah sampai di India, mereka memberontak dan membawa kapal Portugis yang mereka tumpangi ke Pasai, dimana mereka disambut dengan luar biasa.Orang Portugis menggunakan jung dalam jumlah besar untuk perdagangan mereka di Asia. Setidaknya 1 jong dibawa ke Portugal, untuk digunakan sebagai kapal penjaga pantai di Sacavem di bawah perintah raja John III, dan sebagai kapal perang di Armada Selat Gibraltar, Esquadra do Estreito.

    Tomé Pires pada 1515 diberitahukan bahwa penguasa Kanton (sekarang Guangzhou) membuat hukum yang mewajibkan kapal asing berlabuh di sebuah pulau di tepi pantai. Dia bilang orang Cina membuat hukum tentang pelarangan masuknya kapal ke Kanton ini karena mereka takut akan orang Jawa dan Melayu, karena mereka yakin satu buah kapal jong milik Jawa atau Melayu bisa mengalahkan 20 kapal jung Cina. Cina mempunyai lebih dari 1000 jung, tetapi satu kapal jong berukuran 400 ton dapat mengusir penduduk Kanton, dan pengusiran ini akan membawa kerugian besar bagi Cina. Orang Cina takut jika kota itu dirampas dari mereka, karena Kanton adalah salah satu kota terkaya di Cina

    Pada 1574, ratu Kalinyamat dari Jepara menyerang Melaka Portugis dengan 300 kapal, yang meliputi 80 jong dengan berat burthen sampai dengan 400 ton dan 220 kelulus di bawah komando Kyai Demang, tetapi dengan sedikit artileri dan senjata api. Saat perbekalan menipis dan udara menjadi tercemar oleh penyakit Tristão Vaz da Veiga memutuskan untuk mempersenjatai armada kecil sebuah galai dan empat galai kecil dan sekitar 100 tentara dan menuju ke Sungai Malaios, di tengah malam. Sesampai di sana, armada Portugis memasuki sungai tanpa terdeteksi oleh kru Jawa, dan menggunakan bom api yang dilemparkan dengan tangan membakar sekitar 30 jung dan perahu lainnya, menyerang armada Jawa secara mengejutkan, dan menangkap banyak persediaan ditengah-tengah orang Jawa yang sedang panik. Setelah pengepungan 3 bulan, pasukan Jawa mundur.

    Menceritakan pengalamannya saat 10 tahun di Hindia Timur (1601–1611), François Pyrard dari Raval (hidup sekitar tahun 1578–1623) menyebutkan tentang sebuah bangkai kapal jung Sunda di Gardu, atol Malé selatan, Maladewa. Kapal itu membawa semua jenis rempah-rempah dan barang dagangan lainnya dari Cina dan Sunda. Di kapal ada sekitar 500 pria, wanita, dan anak-anak, dan hanya 100 yang selamat saat ia tenggelam. Raja Maladewa menegaskan bahwa itu adalah kapal terkaya yang dapat dibayangkan. Peyrard berpikir bahwa itu adalah kapal terbesar yang pernah dilihatnya, dengan tiang yang lebih tinggi dan lebih tebal daripada kerakah Portugis, dan “top” (tempat observasi di atas tiang) yang jauh lebih besar daripada yang ada di kerakah Portugis. Orang tua dari ratu Sunda adalah pemilik jung itu, keduanya meninggal saat kapal itu tenggelam. Sang ratu, yang waktu itu masih seorang anak kecil, selamat dari kejadian itu. Pyrard percaya bahwa di Indonesia, dibangun kapal yang lebih besar dan dengan bahan yang lebih baik daripada di Portugal atau tempat lain di dunia.

    Orang Belanda pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 mendapati bahwa jong-jong Jawa yang berlayar di Asia tenggara berukuran lebih kecil dari abad-abad sebelumnya.Willem Lodewycksz mencatat bahwa jung Banten berkapasitas tidak lebih dari 20 last (40 ton)

    (Di buritan duduk) dua orang yang mengemudi: Karena (kapal itu) memiliki dua kemudi, satu buah pada setiap sisi, dan sebuah galah di tengah yang diikat ke kapal dengan tali di bawah buritan (…). (Jong-jong ini) ialah kapal mereka yang mereka gunakan untuk mengarungi lautan lepas ke Maluku, Banda, Borneo, Sumatra dan Malaka. Mereka memiliki tiang cucur di bagian depan, dan di dekatnya ada tiang depan, (dan ada pula) tiang utama dan tiang buritan, dan dari haluan sampai buritan ada sebuah bangunan atas serupa rumah, di mana mereka duduk terlindung dari panasnya matahari, hujan, dan embun. Di buritan terdapat sebuah ruangan yang hanya untuk nakhoda jong itu, mereka tidak memiliki layar persegi kecuali untuk layar cucur, di bagian bawah lambung dibagi menjadi ruang-ruang kecil di mana mereka menyimpan muatan. Mereka masuk melalui bukaan di kedua sisi kapal dan di sinilah letak perapian/cerobong asap mereka

    Jong pertama yang ditemui Belanda di Banten hanya berukuran 16 last (32 ton). Jong dari Banten kebanyakan dibuat di Banjarmasin, Kalimantan.Tapi yang pasti Lodewycksz tidak pernah melihat monster laut dari Jawa Tengah, seperti yang berasal dari Semarang dan Jepara.Pada bulan Desember 1664, Wouter Schouten menjelaskan jong besar di Jawa:

    Mereka membangun kapal-kapal besar yang biasa disebut joncken (jong), yang oleh orang Jawa lebih banyak digunakan untuk perdagangan daripada untuk peperangan, ada juga yang begitu besar sehingga bisa membawa 200–300 last (400–600 ton). Ia dilengkapi dengan tiang cucur, tiang topan, tiang agung, dan tiang baksi; tetapi mereka tidak memiliki tiang atas, tidak ada mars (top)  atau layar atas seperti layar kami, tetapi layar bawah persegi besar yang terbuat dari jerami atau kulit kelapa. Dek atas jong-jong ini tetap sangat tinggi ketika kargo ditempatkan di ruang penyimpanan lambung. Penumpang kapal dibagi kepada beberapa bilik dan kamar kecil; buritannya menggantung seperti kakus petani, secara ajaib mencuat sangat jauh di atas air; Anda juga dapat menemukan kabin untuk kapten di sana atau nakhoda laut yang bertanggung jawab atas penanganan bisnis. Karena orang Cina dan orang Jawa melakukan perjalanan dengan kapal jong dan jenis kapal lainnya selama beberapa minggu atau bulan, mereka biasanya membawa serta istri dan anak-anak mereka. Ini berarti mereka merasakan ketidaknyamanan kehidupan seorang pelaut sejak usia muda

    Perbedaan dengan jung Cina

    Kapal jung Jawa berbeda dengan jung Cina dari kemudinya. Jung Cina memiliki 1 buah kemudi di tengah sedangkan jung Jawa memiliki 2 di bagian samping. Jung Jawa dapat dipasang dengan layar jung (ada tulang/sekat bambunya) atau dengan layar tanja (layar segi empat yang miring, mirip layar kapal Borobudur). Haluan dan buritan jung Jawa berbentuk meruncing atau lancip, sedangkan jung Cina tumpul atau datar. Bagian bawah jung Cina berbentuk U tanpa lunas (keel), sehingga kurang cocok mengarungi samudra, sedangkan jung Jawa memiliki lunas dan berbentuk mirip V, yang lebih stabil untuk mengarungi samudra. Kapal jung Cina disambungkan dengan paku besi atau sambungan logam lainnya, sedangkan jung Jawa menggunakan paku kayu atau pasak.

    Jung Cina dipengaruhi oleh tradisi pembuatan kapal Nusantara. Orang Cina tidak membuat kapal yang layak laut sampai sekitar abad ke-8 dan 9 Masehi. Tidak diketahui kapan orang Cina mulai mengadopsi teknik pembuatan kapal Asia Tenggara (Austronesia). Mereka mungkin telah dimulai sejak abad ke-8, tetapi perkembangannya bertahap dan kapal jung Cina pengarung laut tidak muncul secara tiba-tiba. Kapal jung Cina selatan menunjukkan ciri-ciri kapal Austronesia: Lambung berbentuk V dan berujung ganda (baik haluan dan buritan sama-sama lancip) dengan lunas, dan menggunakan kayu asal daerah tropis. Ini berbeda dengan kapal jung Cina bagian utara, yang dikembangkan dari perahu-perahu sungai berlambung datar.

    Setelah invasi Mongol ke Jawa (tahun 1293), teknik perkapalan Cina masuk dan diserap pembuat kapal Jawa. Muncullah jenis jung baru, yang disebut jong hibrida Cina-Asia tenggara, mereka mencampurkan teknik Cina dalam pembuatannya, yaitu menggunakan paku besi selain menggunakan pasak kayu dan juga pembuatan sekat kedap air (watertight bulkhead), dan penambahan kemudi sentral

    Ukuran

    Ada perdebatan tentang ukuran kapal jong Jawa. Pierre-Yves Manguin berpendapat bahwa tonase jung Jawa setidaknya adalah 1000 ton.:266 Irawan Djoko Nugroho memperkirakan ukuran jung Jawa besarnya 4–5 kali kapal Flor de la Mar, kapal terbesar Portugis tahun 1511. Beliau berpendapat ukuran Flor de la Mar adalah sepanjang 69 m–78,3 m. Ini berarti ukuran jung Jawa adalah 313,2–391,5 m. Untuk ukuran ini, beliau sebenarnya tidak menggunakan panjang Flor de la Mar, tetapi menggunakan panjang kapal Swedia, Vasa (1628) dan kapal Jerman, Adler von Lübeck (1566). Kedua kapal ini memiliki tonase yang jauh lebih besar dari Flor de la Mar.

    Muhammad Averoes mengukur dimensi jong Jawa dengan menentukan berat benamannya (displacement) terlebih dahulu. Berat benamannya diketahui dari berat mati kapal, yang didapat dari perbandingan dengan kapasitas penumpangnya. Untuk po memiliki rasio penumpang dengan berat mati sebesar 1:1, sedangkan untuk jong 1:2. Hasil perhitungannya mencakup ukuran jong dari masa yang berbeda, yang ditampilkan di bawah. LWL adalah panjang garis air, LOD adalah panjang dek, dan LOA adalah panjang keseluruhan

    Hilangnya jung Jawa

    Anthony Reid berpendapat bahwa kegagalan jong dalam pertempuran melawan kapal Barat yang lebih kecil dan lincah kemungkinan meyakinkan pembuat kapal Jawa bahwa jong yang besar tetapi kurang lincah menghadapi risiko terlalu besar sesudah orang Portugis memperkenalkan pertempuran laut cara Eropa, sehingga kapal-kapal yang mereka bangun setelahnya lebih kecil dan laju.Sejak pertengahan abad ke-16 kekuatan-kekuatan maritim di Nusantara mulai menggunakan tipe-tipe kapal tempur gesit baru yang dapat dilengkapi dengan meriam berukuran lebih besar: Dalam berbagai serangan atas Malaka yang dilancarkan pada Melaka Portugis setelah kekalahan Pati Unus, mereka tidak lagi menggunakan jong, tetapi menggunakan lancaran, ghurab, dan ghali. Jong-jong yang berlayar di Nusantara setelah tahun 1600-an daya muatnya hanya sebesar 20–300 ton, dengan kemungkinan rata-rata sebesar 100 ton  tetapi masih ada beberapa dari mereka yang dapat membawa 200 hingga 300 last muatan (sekitar 360–400 sampai 540–600 ton metrik)  pada awal tahun 1700-an

    Hilangnya tradisi maritim Jawa adalah akibat kebijakan kerajaan Jawa sendiri setelah kekalahan mereka terhadap Portugis dalam penyerbuan Malaka, yang kemudian lebih memusatkan pada kekuatan angkatan darat. Serta, sikap represif Amangkurat I dari Mataram terhadap kota kota pesisir utara Jawa. Amangkurat I pada 1655 memerintahkan agar pelabuhan ditutup dan kapal-kapal dihancurkan agar mencegah kota-kota pesisir menjadi kuat dan memberontak. Ini menghancurkan ekonomi Jawa dan kekuatan maritimnya yang dibangun sejak zaman Medang sampai Majapahit, dan mengubah Mataram menjadi negara agraris

    kantor Maskapai Perdagangan Hindia Belanda (VOC) yaitu Batavia Daghregister melaporkan pada 1677 bahwa orang-orang Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur kekurangan kapal sendiri bahkan untuk penggunaan yang diperlukan, dan bersikap sangat tidak peduli tentang laut. Setelah tahun 1700-an, peran jong telah digantikan oleh jenis kapal dari Eropa, yaitu bark dan brigantine, yang dibuat di galangan kapal lokal di Rembang dan Juwana (yang merupakan tempat pembuatan jong), kapal-kapal jenis ini bisa mencapai 400–600 ton muatannya, dengan rata-rata sebesar 92 last (165.6–184 ton metrik) Orang Belanda juga menyadari kemahiran orang Jawa dalam pembuatan kapal, pada abad ke-18 galangan-galangan kapal di Amsterdam mempekerjakan orang Jawa sebagai mandor. Pada 1856, John Crawfurd mencatat bahwa aktivitas pembuatan kapal Jawa masih ada pada pesisir utara Jawa, dengan galangan kapal yang diawasi oleh orang Eropa, namun semua pekerjanya orang Jawa. Kapal-kapal yang dibuat pada abad ke-19 memiliki tonase maksimum 50 ton dan utamanya digunakan untuk pengangkutan di sungai.

  • RMS Titanic Sejarah kelam

    RMS Titanic Sejarah kelam

    RMS Titanic adalah sebuah kapal penumpang super Britania Raya yang tenggelam di Samudra Atlantik Utara pada tanggal 15 April 1912 setelah menabrak sebuah gunung es pada pelayaran perdananya dari Southampton, Inggris ke New York City. Tenggelamnya Titanic mengakibatkan kematian sebanyak 1.514 orang dalam salah satu bencana maritim paling mematikan sepanjang sejarah. Titanic merupakan kapal terbesar di dunia pada pelayaran perdananya. Satu dari tiga kapal samudra kelas Olympic dioperasikan oleh White Star Line. Kapal ini dibangun pada 1909 sampai 1911 oleh galangan kapal Harland and Wolff di Belfast. Kapal ini sanggup mengangkut 2.224 penumpang.

    Para penumpangnya terdiri dari sejumlah orang terkaya di dunia, serta lebih dari seribu imigran dari Britania Raya, Irlandia, Skandinavia, dan negara-negara lain yang mencari kehidupan baru di Amerika Utara. Kapal ini dirancang senyaman dan semewah mungkin, dengan dilengkapi gimnasium, kolam renang, perpustakaan, restoran kelas atas dan kabin mewah. Kapal ini juga memiliki telegraf nirkabel mutakhir yang dioperasikan untuk keperluan penumpang dan operasional kapal. Meski Titanic mempunyai perlengkapan keamanan yang maju seperti kompartemen kedap air dan pintu kedap air yang bisa dioperasikan dari jarak jauh, kapal tersebut tidak memiliki sekoci yang cukup untuk menampung seluruh penumpang kapal. Karena regulasi keamanan laut yang sudah kuno, Titanic hanya mengangkut sekoci yang hanya mampu menampung 1.178 penumpang – sepertiga dari total penumpang dan awak kapalnya.

    Setelah meninggalkan Southampton pada 10 April 1912, Titanic berhenti di Cherbourg, Prancis dan Queenstown (sekarang Cobh), Irlandia sebelum berlayar ke barat menuju New York. Pada tanggal 14 April 1912, empat hari pasca pelayaran, tepatnya 375 mil di selatan Newfoundland, kapal menabrak sebuah gunung es pukul 23:40 (waktu kapal; UTC-3). Tabrakan agak menggesek ini mengakibatkan pelat lambung Titanic melengkung ke dalam di sejumlah tempat di sisi kanan kapal dan mengoyak lima dari enam belas kompartemen kedap airnya. Selama dua setengah jam selanjutnya, kapal perlahan terisi air dan tenggelam. Para penumpang dan sejumlah awak kapal diungsikan ke dalam sekoci, kebanyakan sudah diluncurkan dalam keadaan setengah penuh. Banyak pria dalam jumlah yang tidak sepadan – hampir 90% di Kelas Dua – ditinggalkan karena para petugas yang memuat sekoci mematuhi protokol “wanita dan anak-anak dahulu”. Tepat sebelum pukul 2:20, Titanic patah dan haluannya tenggelam bersama seribu penumpang di dalamnya. Orang-orang di air meninggal dalam hitungan menit akibat hipotermia karena bersentuhan dengan samudra yang sangat dingin.710 penumpang selamat diangkat dari sekoci oleh RMS Carpathia beberapa jam kemudian.

    Musibah ini ditanggapi dengan keterkejutan dan kemarahan dunia atas jumlah korban yang besar dan kegagalan regulasi dan operasi yang terjadi serta sekoci dan alat kelengkapan penyelamatan lainnya yang tidak memadai. Penyelidikan publik di Britania dan Amerika Serikat mendorong perbaikan besar-besaran keselamatan laut. Salah satu warisan terpenting dari bencana ini adalah penetapan Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS), yang masih mengatur keselamatan laut sampai sekarang. Banyak korban selamat kehilangan seluruh kekayaan dan harta benda mereka dan menjadi miskin; banyak keluarga, terutama keluarga awak kapal dari Southampton, kehilangan sumber nafkah utamanya. Mereka semua dibantu oleh banjirnya simpati dan sumbangan amal dari masyarakat. Beberapa pria yang selamat, terutama kepala White Star Line, J. Bruce Ismay, dicela sebagai pengecut karena meninggalkan kapal ketika penumpang lain masih di atasnya, dan mereka diasingkan oleh publik.

    Bangkai Titanic masih ada di dasar laut, perlahan hancur di kedalaman 12.415 kaki (3.784 m). Sejak ditemukan kembali pada tahun 1985, ribuan artefak diangkat dari dasar laut dan dipamerkan di berbagai museum di seluruh dunia. Titanic telah menjadi salah satu kapal ternama dalam sejarah. Keberadaannya terus diingat oleh sejumlah buku, film, pameran, dan tugu peringatan.

    Latar belakang

    Dibangun di Belfast, Irlandia, Kerajaan Bersatu, RMS Titanic adalah kapal kedua dari tiga kapal samudra kelas Olympic – sisanya adalah RMS Olympic dan HMHS Britannic (aslinya bernama Gigantic). Ketiganya adalah kapal terbesar dalam armada perusahaan perkapalan Britania White Star Line, yang terdiri dari 29 kapal uap dan tender pada tahun 1912. Tiga kapal tersebut lahir dalam sebuah perbincangan pada pertengahan 1907 antara kepala White Star Line, J. Bruce Ismay, dan hartawan Amerika Serikat J. Pierpont Morgan, yang mengendalikan perusahaan induk White Star Line, International Mercantile Marine Co. White Star Line menghadapi tantangan yang semakin menjadi-jadi dari pesaing utamanya, Cunard, yang telah meluncurkan Lusitania dan Mauretania – kapal penumpang tercepat yang beroperasi saat itu – dan perusahaan pelayaran Jerman, Hamburg America dan Norddeutscher Lloyd. Ismay memilih untuk bersaing dalam hal ukuran ketimbang kecepatan dan berencana meluncurkan jajaran kapal baru yang ukurannya lebih besar daripada sebelumnya serta dibuat senyaman dan semewah mungkin.

    Jajaran kapal ini dibangun oleh galangan kapal Belfast, Harland and Wolff, yang sudah punya hubungan lama dengan White Star Line sejak 1867. Harland and Wolff diberikan keuntungan besar dalam merancang kapal untuk White Star Line; pendekatan seperti biasa ditujukan kepada White Star Line untuk membuat sketsa konsep umum yang akan dipakai dan diubah menjadi desain kapal oleh Harland and Wolff. Pertimbangan biaya relatif rendah di agendanya dan Harland and Wolff diminta mengeluarkan biaya atas segala kebutuhan kapal, ditambah margin keuntungan lima persen. Untuk kapal kelas Olympic, biaya sebesar £3 juta untuk dua kapal pertama disetujui disertai beberapa “ekstra atas kontrak” dan bayaran lima persen seperti biasa.

    Harland and Wolff menempatkan para desainer utamanya dalam perancangan kapal kelas Olympic. Perancangan ini diawasi oleh Lord Pirrie, direktur Harland and Wolff dan White Star Line; arsitek laut Thomas Andrews, direktur pelaksana departemen desain Harland and Wolff; Edward Wilding, wakil Andrews dan bertanggung jawab atas penghitungan desain kapal, keseimbangan dan kerapiannya; dan Alexander Carlisle, kepala juru gambar kapal dan manajer umum. Tugas Carlisle adalah dekorasi, perlengkapan dan semua pengaturan umum, termasuk penerapan desain dewi-dewi sekoci yang efisien.

    Pada tanggal 29 Juli 1908, Harland and Wolff mempresentasikan sketsanya kepada J. Bruce Ismay dan para eksekutif White Star Line lainnya. Ismay menyetujui desain tersebut dan menandatangani tiga “surat perjanjian” dua hari kemudian yang mengizinkan pembangunan kapal. Saat itu, kapal pertama tersebut – yang kelak menjadi Olympic – belum mempunyai nama, tetapi hanya ditandai sebagai “Number 400”, karena kapal ini adalah kapal ke-400 yang dibangun Harland and Wolff. Titanic didasarkan pada versi revisi desain yang sama dan diberi nomor 401

    Dimensi dan pengaturan

    Titanic memiliki panjang 882 kaki 9 inci (269,06 m) dengan lebar maksimum 92 kaki 6 inci (28,19 m). Tinggi keseluruhannya, diukur dari dasar lunas ke puncak anjungan, adalah 104 kaki (32 m). Kapal ini berbobot 46.328 ton daftar bruto dan dengan daya muat 34 kaki 7 inci (10,54 m), kapal ini berbobot total 52.310 ton

    Ketiga kapal kelas Olympic mempunyai sebelas geladak (tidak termasuk kantor perwira di bagian atas), delapan diantaranya digunakan penumpang. Dari atas ke bawah, geladak-geladak tersebut adalah:

    • Boat Deck, tempat sekoci diletakkan. Pada jam-jam pertama 15 April 1912, dari sinilah sekoci Titanic diturunkan ke Samudra Atlantik Utara. Anjungan dan ruang kemudi ada di ujung depan, di depan kantor kapten dan perwira. Anjungan terletak 8 kaki (2,4 m) di atas geladak, menjorok ke samping agar kapal dapat diawasi ketika merapat. Ruang kemudi terletak tepat di belakang dan atas anjungan. Pintu masuk ke Grand Staircase Kelas Satu dan gimnasium ada di tengah kapal bersama atap lounge Kelas Satu, semester di belakang geladak adalah atap ruang cerutu Kelas Satu dan pintu masuk Kelas Dua yang relatif sederhana. Geladak berlapis kayu ini terbagi menjadi empat teras terpisah; secara berurutan untuk perwira, penumpang Kelas Satu, teknisi dan penumpang Kelas Dua. Sekoci berjajar di sisi geladak, melompati wilayah Kelas Satu agar pemandangan dari sana tidak terganggu.
    • A Deck, juga disebut Promenade Deck, membentang sepanjang keseluruhan panjang struktur super ini, yaitu 546 kaki (166 m). Geladak ini dirancang khusus untuk penumpang Kelas Satu dan berisikan kabin Kelas Satu, lounge Kelas Satu, ruang cerutu, ruang baca tulis dan Palm Court.
    • B Deck, atau Bridge Deck, adalah geladak atas penopang berat sekaligus tingkat teratas lambung kapal. Sebagian besar akomodasi penumpang Kelas Satu dibangun di sini, dilengkapi enam kamar istana (kabin) yang memiliki terasnya sendiri. Di Titanic, A La Carte Restaurant dan Café Parisien menyediakan fasilitas makan mewah bagi penumpang Kelas Satu. Keduanya dioperasikan oleh koki dan staf subkontrak; semuanya tewas dalam bencana. Ruang cerutu Kelas Dua dan aula pintu masuk ada di geladak ini. Geladak haluan kapal yang terangkat berada di depan Bridge Deck dan terdiri dari palka Nomor 1 (palka utama menuju ruang kargo), berbagai macam mesin dan jangkar. Geladak ini tertutup bagi penumpang; adegan “terbang” yang terkenal di haluan kapal pada film Titanic tahun 1997 tidak akan mungkin terjadi di dunia nyata. Buritan Bridge Deck adalah Poop Deck yang dinaikkan, dengan panjang 106 kaki (32 m), digunakan sebagai teras untuk penumpang Kelas Tiga. Di sanalah tempat bertahan terakhir bagi banyak penumpang dan awak Titanic ketika kapal tenggelam. Geladak haluan dan Poop Deck terpisah dari Bridge Deck melalui dek turun.
    • C Deck, atau Shelter Deck, adalah geladak tertinggi yang merentang langsung dari ujung haluan ke ujung buritan kapal. C Deck terdiri dari dua geladak turun; geladak buritan adalah bagian dari tempat jalan-jalan Kelas Tiga. Kabin awak terletak di bawah geladak haluan dan ruang umum Kelas Tiga terletak di bawah Poop Deck. Di antara keduanya adalah sebagian besar kabin Kelas Satu dan perpustakaan Kelas Dua.
    • D Deck, atau Saloon Deck, didominasi oleh tiga ruang umum berukuran besar – Ruang Resepsi Kelas Satu, Ruang Makan Kelas Satu, dan Ruang Makan Kelas Dua. Sebuah ruang terbuka juga dibangun untuk penumpang Kelas Tiga. Para penumpang Kelas Satu, Dua, dan Tiga memiliki kabin di geladak ini, dilengkapi kamar tidur untuk juru api yang terletak di haluan. Geladak ini adalah tingkat tertinggi yang dicapai sekat kedap air kapal (meski hanya delapan dari lima belas sekat).
    • E Deck, atau Upper Deck, lebih dimanfaatkan untuk akomodasi penumpang untuk semua kelas ditambah kamar tidur koki, pelaut, pelayan, dan penghias. Di sepanjang geladak ini, terdapat sebuah lorong panjang yang dijuluki Scotland Road oleh para awak, merujuk pada nama sebuah jalan terkenal di Liverpool.
    • F Deck, atau Middle Deck, adalah geladak lengkap yang terakhir dan didominasi akomodasi untuk penumpang Kelas Tiga. Ada pula beberapa kabin Kelas Dua dan akomodasi awak. Ruang makan Kelas Tiga terletak di sini, begitu pula kolam renang dan pemandian Turki.
    • G Deck, atau Lower Deck, adalah geladak lengkap terendah yang mengangkut penumpang. dan memiliki jendela kapal paling bawah, tepat di atas garis air. Lapangan squash terletak di sini bersama kantor pos berjalan, tempat para petugas surat menyortir surat dan parcel untuk dikirimkan setelah kapal merapat di dermaga. Bahan pangan juga disimpan di sini. Di beberapa tempat, geladak ini ditembus oleh geladak orlop (setengah) di atas ruang ketel, mesin, dan turbin.
    • Orlop Decks dan Tank Top berada di tingkat terendah kapal, di bawah garis air. Geladak orlop dipakai untuk ruang kargo, sementara Tank Top – bagian bawah terdalam di lambung kapal – memiliki ruang tempat ketel, turbin, dan generator listrik kapal dipasang. Bagian kapal yang satu ini didominasi oleh ruang mesin dan ketel, tempat-tempat yang tidak biasa dilihat penumpang. Kedua ruang ini terhubung dengan tingkat teratas di kapal melalui serangkaian tangga; dua tangga spiral dekat haluan memberi akses ke D Deck

     

      Fitur

     Mesin, ketel, dan generator

    Titanic dilengkapi dengan tiga mesin – dua mesin uap tiga ekspansi empat silinder bolak-balik dan satu turbin Parsons bertekanan rendah di tengah – yang masing-masing mendorong satu baling-baling. Dua mesin bolak-balik memiliki kekuatan gabungan sebesar 30.000 hp dan sisa 16.000 hp berasal dari turbin. White Star Line sebelumnya berhasil memakai kombinasi mesin yang sama pada kapal SS Laurentic. Gabungan ini memberikan kombinasi performa dan kecepatan yang bagus; mesin bolak-balik sendiri tidak cukup kuat untuk mendorong sebuah kapal kelas Olympic pada kecepatan yang diinginkan, sementara turbin lumayan kuat namun mengakibatkan getaran yang tidak nyaman, sebuah masalah yang memengaruhi kapal-kapal serba turbin milik Cunard, Lusitania dan Mauretania. Dengan menggabungkan mesin bolak-balik dengan sebuah turbin, pemakaian bahan bakar dapat dikurangi dan tenaga motif meningkat dengan jumlah uap yang sama.

    Dua mesin bolak-balik berukuran raksasa, masing-masing sepanjang 63 kaki (19 m) dan berbobot 720 ton. Pelat dasarnya sendiri berbobot 195 ton.Kedua mesin didorong tenaga uap yang dihasilkan 29 ketel, 24 di antaranya berujung ganda dan 5 berujung tunggal, yang terdiri dari 159 tungku secara keseluruhan. Ketel-ketel tersebut berdiameter 15 kaki 9 inci (4,80 m) dan sepanjang 20 kaki (6,1 m), masing-masing berbobot 91,5 ton dan mampu menampung 48,5 ton air.

    Ketel ini dipanaskan oleh pembakaran batu bara, 6.611 ton di antaranya ditampung di bunker Titanic dan 1.092 ton sisanya disimpan di Hold 3. Tungku-tungku tersebut membutuhkan lebih dari 600 ton batu bara sehari yang disodok ke dalam menggunakan tangan, sehingga membutuhkan tenaga 176 juru api selama 24 jam.100 ton abu per hari dibuang dengan melepaskannya ke laut. Pekerjaan seperti ini tampak keras, kotor, dan berbahaya, meski digaji relatif besar, ada tingkat bunuh diri yang tinggi di antara para juru api yang menjalaninya.

    Uap buangan yang meninggalkan mesin bolak-balik dimasukkan ke turbin di buritan. Dari sana, uap diteruskan ke kondensator sehingga bisa diembunkan menjadi air dan dipakai lagi. Mesin-mesin terpasang langsung dengan tangkai panjang yang mengendalikan baling-baling. Ada tiga baling-baling, satu untuk setiap mesin; baling-baling terluar (atau samping) adalah yang terbesar, masing-masing terdiri dari tiga bilah aloi mangan-perunggu dengan diameter total 235 kaki (72 m). Baling-baling tengah berdiameter 17 kaki (5,2 m),  dapat dihentikan, namun tidak dapat dimundurkan.

    Pembangkit listrik Titanic mampu menghasilkan lebih banyak listrik ketimbang satu pembangkit listrik kota pada masa itu. Buritan mesin turbin terisi oleh empat generator listrik tenaga uap 400 kW yang digunakan untuk menyediakan tenaga listrik kapal, plus dua generator pembantu 30 kW untuk keperluan darurat. Tempatnya ada di belakang kapal, sehingga masih sempat beroperasi sampai menit-menit terakhir sebelum kapal tenggelam

    Fasilitas teknis

    Kemudi Titanic lumayan besar – setinggi 78 kaki 8 inci (23,98 m) dan sepanjang 15 kaki 3 inci (4,65 m), berbobot lebih dari 100 ton – sehingga dibutuhkan mesin kemudi untuk menggerakkannya. Dua mesin kemudi berkekuatan uap dipasang meski hanya satu yang dipakai, sementara satu lagi sebagai cadangan. Keduanya terhubung dengan tangkai kemudi pendek melalui per keras untuk mengisolasi mesin kemudi dari kejutan apapun akibat laut keras atau perubahan arah yang cepat. Sebagai pilihan terakhir, tangkai kemudi dapat dipindahkan dengan tali yang terhubung dengan dua putaran jangkar uap. Putaran jangkar ini juga digunakan untuk menaikkan dan menurunkan lima jangkar kapal (satu di kiri, satu kanan, satu tengah, dan dua jangkar lengkung).

    Kapal ini memiliki sistem pengaliran airnya sendiri, yang mampu memanaskan dan memompa air ke seluruh kapal melalui jaringan pipa dan katup yang rumit. Suplai air utama dibawa ke kapal ketika Titanic masih di pelabuhan, tetapi dalam keadaan darurat pun kapal mampu menyuling air tawar dari laut, meski ini bukan proses langsung karena saluran distilasi mudah tersumbat endapan garam. Serangkaian saluran terisolasi mengangkut udara hangat ke seluruh kapal yang berasal dari kipas listrik, dan kabin Kelas Satu dilengkapi pemanas listriknya sendiri.

    Titanic dilengkapi dengan telegraf nirkabel jeda percik berkekuatan 1,5 kW yang dipasang di ruang radio Geladak Anjungan. Satu set dipakai untuk mengirim pesan dan satu lagi, di bilik kedap suara, untuk menerima pesan. Sinyal dipancarkan melalui dua kabel paralel yang dibentangkan di antara menara-menara kapal, 50 kaki (15 m) di atas cerobong untuk menghindari asap korosifnya. Sistem ini adalah salah satu yang tercanggih di dunia dengan jangkauan sampai 1.000 mil. Sistem ini dimiliki dan dioperasikan oleh Marconi Company, bukan White Star Line, dan hanya diperuntukkan kepada penumpang, bukan operasi kapal. Fungsi dua operator nirkabel – keduanya karyawan Marconi – adalah mengoperasikan layanan pengiriman dan penerimaan telegram nirkabel 24 jam untuk penumpang. Mereka juga meneruskan pesan profesional kapal seperti laporan cuaca dan peringatan es

    Fasilitas penumpang

    Fasilitas penumpang di Titanic dibangun semewah mungkin. Kapal ini dapat menampung 739 penumpang Kelas Satu, 674 Kelas Dua dan 1.026 Kelas Tiga. Para awaknya berjumlah sekitar 900 orang; secara keseluruhan, kapal ini dapat menampung 3.339 orang. Desain interiornya jauh berbeda dari kapal-kapal penumpang lainnya, yang umumnya didekorasi dengan gaya rumah puri atau rumah pedesaan Inggris. Titanic dirancang dengan gaya yang lebih ringan seperti hotel-hotel kontemporer kelas atas – Ritz Hotel menjadi rujukannya – dengan kabin Kelas Satu dibangun dengan gaya Kekaisaran. Berbagai gaya dekoratif lain, mulai dari Renaisans sampai gaya Victoria, dipakai untuk mendekorasi kabin dan ruang umum di kawasan Kelas Satu dan Dua. Tujuannya adalah memberi kesan bahwa penumpang berada di hotel terapung alih-alih kapal penumpang; sebagaimana kesaksian seorang penumpang, ketika memasuki interior kapal, seseorang akan merasa “kehilangan perasaan bahwa kita berada di atas kapal, dan seolah-olah memasuki aula rumah besar di pesisir pantai.”

    Penumpang dapat memanfaatkan sistem telepon kapal, perpustakaan pinjam buku, dan salon besar. Kelas Satu dilengkapi kolam renang, gimnasium, lapangan squash, pemandian Turki, pemandian listrik dan kafe teras. Ruang umum Kelas Satu dilengkapi panel kayu ukiran, furnitur mahal dan dekorasi lainnya, sementara ruang umum Kelas Tiga dilengkapi panel kayu pinus dan furnitur jati. Café Parisien terletak di teras terbuka yang dilengkapi dekorasi trellis dan menawarkan haute cuisine Prancis terbaik untuk penumpang Kelas Satu

    Penumpang Kelas Tiga tidak diperlakukan semewah Kelas Satu, tetapi kondisi mereka masih lebih baik daripada penumpang Kelas Tiga di kapal lain pada masa itu. Mereka ditempatkan di kabin tidur berkapasitas dua dan sepuluh orang, dengan 164 kamar terbuka tambahan untuk para pemuda di G Deck. Dalam hal fasilitas mandi dan cuci, mereka lebih terbatas ketimbang penumpang Kelas Satu atau Dua. Mereka hanya diberi dua kamar mandi, satu untuk pria dan satu lagi wanita, untuk keseluruhan Kelas Tiga. Mereka harus mencuci pakaian mereka sendiri di ruang cuci yang dilengkapi bak besi, sementara penumpang Kelas Satu dan Dua dapat memakai jasa binatu kapal. Ada pula batasan terhadap kawasan kapal yang boleh dimasuki; ketiga kelas penumpang terpisah satu sama lain, dan meski teorinya penumpang kelas teratas dapat mengunjungi kawasan kelas terendah, kenyataannya mereka tidak diperbolehkan melakukannya demi menghormati kebiasaan sosial pada masa itu. Pemisahan kelas terlihat pada perlengkapan kapal, toilet Kelas Tiga terbuat dari besi, sementara Kelas Dua porselen dan Kelas Satu marmer.

    Fasilitas kenyamanan disediakan untuk ketiga kelas untuk menghabiskan waktu. Selain memanfaatkan fasilitas dalam ruangan seperti perpustakaan, ruang cerutu dan gimnasium, penumpang juga perlu bersosialisasi di dek terbuka, jalan-jalan atau menenangkan diri di kursi dek atau kursi kayu. Sebuah daftar penumpang diterbitkan sebelum pelayaran untuk menginformasikan kepada publik mana saja anggota keluarga berpengaruh yang naik kapal, dan sudah umum bagi ibu-ibu yang ambisius untuk memanfaatkan daftar ini untuk mengenali orang-orang kaya yang dapat diperkenalkan kepada anaknya sepanjang pelayaran.

    Salah satu fitur paling menarik di Titanic adalah tangga Kelas Satunya, yang dikenal sebagai Grand Staircase atau Grand Stairway. Tangga ini menuruni lima dek kapal, dari Boat Deck ke Reception Room yang bergabung dengan First Class Dining Saloon di D Deck. Ruangan ini beratapkan kubah besi tempa dan kaca yang menyalurkan cahaya alami. Setiap ujung bawah tangga mengarah ke aula pintu masuk yang diterangi lampu berlapiskan emas. Di ujung atas tangga terdapat panel kayu ukiran besar berisikan jam ditambah kata-kata “Honour and Glory Crowning Time” yang mengitari jam. Grand Staircase hancur dalam peristiwa tenggelamnya Titanic dan sekarang menjadi lubang di kapal yang dipakai para penjelajah modern untuk mengakses dek bawah. Selama perekaman Titanic karya James Cameron pada tahun 1997, replika Grand Staircase-nya tercabut dari fondasinya akibat desakan air yang masuk dengan deras di studio. Diasumsikan bahwa pada peristiwa aslinya, seluruh Grand Staircase terangkat ke atas melalui kubah ruangan

    Surat dan kargo

    Meski Titanic adalah kapal penumpang, kapal ini juga mengangkut sejumlah kargo. Gelar Royal Mail Ship-nya menandakan bahwa Titanic mengangkut surat di bawah kontrak dengan Royal Mail (dan juga United States Post Office Department). 26.800 kaki kubik (760 m3) ruang kargonya dikhususkan untuk penyimpanan surat, parsel dan mata uang (emas lantak, koin, dan barang berharga lain). Sea Post Office di G Deck dikelola oleh lima petugas pos, tiga dari Amerika Serikat dan dua dari Britania Raya, yang bekerja tiga belas jam sehari, tujuh hari seminggu, menyortir hingga 60.000 surat/barang setiap harinya.

    Penumpang kapal turut membawa bagasi dalam jumlah besar; 19.455 kaki kubik (550,9 m3) ruang kargo dipenuhi bagasi kelas satu dan dua. Selain itu, ada berbagai macam kargo reguler, mulai dari furnitur hingga bahan pangan dan bahkan mobil motor. Meski muncul beberapa mitos bahwa kargo pada pelayaran perdana Titanic sangat melimpah; tidak ditemukan emas, mineral eksotis atau intan, dan salah satu barang terkenal yang terjebak di bangkai kapal, salinan Rubaiyat of Omar Khayyam, hanya bernilai £405 (£33.951 hari ini) – cuma barang-barang legenda. Titanic dilengkapi dengan delapan takal listrik, empat derek listrik dan tiga derek uap untuk mengangkat kargo dan bagasi ke dalam dan luar ruang kargo. Diperkirakan bahwa kapal ini memakai 415 ton batu bara di Southampton untuk menghasilkan uap untuk mengoperasikan derek kargo, penghangat dan penerangan

    Sekoci

    Titanic mengangkut 20 sekoci secara keseluruhan: 14 sekoci kayu standar Harland and Wolff dengan kapasitas masing-masing 65 orang dan empat sekoci “lipat” Engelhardt (diberi tanda A sampai D) dengan kapasitas masing-masing 47 orang. Selain itu, kapal ini memiliki dua kapal dayung dengan kapasitas masing-masing 40 orang. Semua sekoci disimpan rapat di Boat Deck dan, kecuali sekoci lipat A dan B, terhubung dengan dewi-dewi melalui tali. Sekoci di sisi kanan diberi nomor ganjil 1–15 dari haluan ke buritan, sementara sekoci di sisi kiri diberi nomor genap 2–16 dari haluan ke buritan. Kedua kapal dayung dibiarkan berayun dan tergantung di dewi-dewi agar dapat segera dipakai, sementara sekoci lipat C dan D disimpan di Boat Deck (terhubung dengan dewi-dewi) langsung di dalam sekoci 1 dan 2. A dan B disimpan di atap kantor perwira, di masing-masing sisi cerobong nomor 1. Tidak ada dewi-dewi untuk menurunkannya dan bobotnya akan sangat menantang ketika diluncurkan. Setiap sekoci berisikan makanan, air, selimut, dan pelampung cadangan. Tali penyelamat di sisi sekoci memungkinkan penumpang menyelamatkan korban lainnya dari air jika perlu.

    Titanic memiliki 16 set dewi-dewi yang masing-masing mampu menangani 4 sekoci. Ini memberikan Titanic kemampuan untuk mengangkut 64 sekoci kayu yang muat untuk 4.000 orang – melebihi kapasitas kapal aslinya. Sayangnya, White Star Line memutuskan agar 16 sekoci kayu dan empat sekoci lipat yang diangkut, yang mampu menampung 1.178 orang, sepertiga kapasitas total Titanic. Pada waktu itu, regulasi Board of Trade mensyaratkan kapal-kapal Britania berbobot lebih dari 10.000 ton membawa 16 sekoci dengan kapasitas 990 penumpang.Meski begitu, White Star Line menyediakan akomodasi sekoci lebih banyak daripada yang disyaratkan secara hukum

     

    Pembangunan dan persiapan

    Konstruksi, peluncuran dan pemasangan

    Ukuran Titanic dan kapal-kapal saudaranya yang raksasa memberikan tantangan teknik tersendiri bagi Harland and Wolff; belum pernah ada pembangun kapal yang berhasil membangun kapal sebesar ini. Kapal-kapal ini dibangun di Queen’s Island, sekarang bernama Titanic Quarter, di Belfast Harbour. Harland and Wolff harus menghancurkan tiga seluncur kapal dan membangun dua seluncur baru, yang merupakan seluncur terbesar yang pernah dibangun pada masa itu, untuk mengakomodasi kapal-kapal raksasa.

    Pembangunannya difasilitasi oleh alat peluncur raksasa yang dibangun oleh Sir William Arrol & Co., sebuah firma asal Skotlandia yang pernah membangun Forth Bridge dan Tower Bridge London. Arrol Gantry berdiri setinggi 228 kaki (69 m), dengan lebar 270 kaki (82 m) dan panjang 840 kaki (260 m), serta berbobot lebih dari 6.000 ton. Alat peluncur ini terdiri dari beberapa takal bergerak. Sebuah takal apung yang mampu mengangkut bobot 200 ton didatangkan langsung dari Jerman.

    Pembangunan Titanic dan Olympic dilakukan secara bersamaan dan terpisah, dengan lambung Olympic pertama diletakkan pada 16 Desember 1908 dan lambung Titanic pada tanggal 31 Maret 1909. Kedua kapal dibangun selama 26 bulan dan melalui proses konstruksi yang sama. Kapal-kapal tersebut dirancang sebagai sebuah box girder apung raksasa, dengan lunasnya yang berperan sebagai tulang punggung dan kerangka lambungnya sebagai tulang dada. Di dasar kapal, sebuah penopang ganda sedalam 5 kaki 3 inci (1,60 m) menopang 300 kerangka, masing-masing terpisah sejauh 24 inci (61 cm) dan 36 inci (91 cm) dan sepanjang 66 kaki (20 m). Penopang ini berakhir di dek anjungan (B Deck) dan dilapisi pelat baja yang membentuk kulit terluar kapal.

    2.000 pelat lambungnya terdiri dari bagian-bagian baja gulung, kebanyakan selebar 6 kaki (1,8 m) dan sepanjang 30 kaki (9,1 m) dan berbobot antara 2,5 dan 3 ton. Ketebalannya bervariasi mulai 15 inci (38 cm) hingga 1 inci (2,5 cm). Pelat-pelat tersebut dipasang dengan gaya klinker (tumpang tindih) dari lunas sampai lambungnya. Di atas bagian itu, pelat dipasang dengan gaya “luar dalam”, yang berarti pemasangan pelat pelatnya dipasang berbentuk pita (disebut “pelat lurus dalam”) dengan celah yang ditutup oleh “pelat lurus luar”, sehingga tumpang tindih di pinggirannya. Pengelasan baja masih terdengar baru sehingga struktur ini perlu digabung dengan lebih dari tiga juta paku sumbat besi dan baja yang keseluruhannya berbobot lebih dari 1.200 ton. Paku sumbat ini dipasang menggunakan mesin hidraulis atau dipaku dengan tangan.

    Interior kapal kelas Olympic dibagi menjadi enam belas kompartemen utama yang dibagi menjadi lima belas sekat yang membentang di atas garis air. Sebelas pintu kedap air yang menutup secara vertikal dapat mengunci kompartemen jika terjadi keadaan darurat”. Geladak terbuka kapal terbuat dari kayu pinus dan jati, sementara langit-langit kapal dilapisi butiran gabus bercat untuk mencegah kondensasi. Superstruktur ini terdiri dari dua geladak, Promenade Deck dan Boat Deck, yang memiliki panjang 500 kaki (150 m). Kedua geladak berisikan kantor perwira, gimnasium, ruang umum dan kabin kelas satu, ditambah anjungan dan ruang kemudi. Sekoci kapal ditempatkan di Boat Deck, dek paling atas. Di atas geladak terdapat empat cerobong, meski hanya tiga yang berfungsi – cerobong terakhir cuma hiasan untuk estetika saja – dan dua menara, masing-masing setinggi 155 kaki (47 m), yang menopang derek untuk pemuatan kargo. Sebuah kabel komunikasi nirkabel dibentangkan di antara kedua menara.

    Pembangunan kapal ini begitu sulit dan berbahaya. Untuk 15.000 orang yang bekerja di Harland and Wolff pada saat itu,pencegahan keselamatan dirancang sebagus mungkin; banyak pekerjaan berbahaya yang dilakukan tanpa peralatan keselamatan seperti topi atau pelindung tangan pada mesin. Akibatnya, timbul korban tewas dan luka-luka. Selama pembangunan Titanic, tercatat 246 kasus luka-luka, 28 di antaranya “parah”, seperti lengan terluka karena mesin atau kaki yang tertimpa bagian-bagian baja yang jatuh. Enam orang meninggal di dalam kapal ketika sedang dibangun dan dipasang dan dua lainnya meninggal di bengkel dan gudang galangan kapal.Tepat sebelum peluncuran, seorang pekerja tewas ketika sebilah kayu menimpanya.

    Titanic diluncurkan pada pukul 12:15 tanggal 31 Mei 1911 di hadapan Lord Pirrie, J. Pierpoint Morgan dan J. Bruce Ismay dan 100.000 penonton. 22 ton sabun dan lemak disebarkan di seluncuran untuk memudahkan peluncuran kapal ke Sungai Lagan. Sesuai kebijakan lama White Star Line, kapal ini tidak diberi nama secara resmi maupun dibaptis dengan sampanye. Kapal ini ditarik ke dermaga pemasangan, tempat mesin, cerobong dan suprastrukturnya dipasang dan interiornya dilengkapi selama satu tahun selanjutnya.

    Meski Titanic tampak identik dengan kapal saudara sebelumnya, Olympic, sejumlah perubahan dilakukan untuk membedakan kedua kapal. Perubahan yang paling mudah dikenali adalah bahwa Titanic (dan kapal saudara selanjutnya, Britannic) memiliki bingkai baja dengan jendela geser di sepanjang setengah depan terasA Deck. Jendela ini dipasang pada menit-menit terakhir atas permintaan pribadi Bruce Ismay, dan bertujuan untuk memberi perlindungan tambahan bagi penumpang kelas satu. Perubahan-perubahan ini menjadikan Titanic secara marginal lebih berat ketimbang kapal saudaranya, dan dapat mengklaim diri sebagai kapal terbesar yang berlayar pada masa itu. Pekerjaan ini lebih lama daripada yang diharapkan akibat perubahan rancangan yang diperintahkan Ismay dan penundaan sementara karena perbaikan Olympic, yang mengalami tabrakan pada September 1911. Jika Titanic sudah rampung dari dulu, kapal ini nantinya mungkin tidak menabrak gunung es

    Pelayaran uji coba

    Pelayaran uji coba Titanic dimulai pukul 06.00 pada hari Senin, 2 April 1912, dua hari setelah pemasangannya selesai dan delapan hari sebelum meninggalkan Southampton untuk pelayaran perdananya. Uji coba ini ditunda selama satu hari karena cuaca buruk, namun pada Senin pagi cuaca cerah dan sejuk. Kapal ini mengangkut 78 juru api, tukang minyak, dan 41 awak kapal. Tidak ada staf domestik di kapal tersebut. Perwakilan dari berbagai perusahaan ikut dalam uji coba Titanic, Thomas Andrews dan Edward Wilding dari Harland and Wolff dan Harold A. Sanderson dari IMM. Bruce Ismay dan Lord Pirrie terlalu sakit untuk hadir. Jack Phillips dan Harold Bride bertugas sebagai operator radio, dan melakukan penyesuaian terhadap alat-alat Marconi. Francis Carruthers, seorang pengawas dari Board of Trade, juga hadir untuk melihat apakah semuanya berjalan dengan baik dan apakah kapal ini layak mengangkut penumpang

    Pelayaran perdana

    Titanic akan berlayar dalam bentuk kapal utuh selama dua minggu sebelum tenggelam, kendati didaftarkan di Liverpool, kapal ini tidak pernah tiba di sana. Kisah peristiwa tenggelamnya begitu terkenal, tetapi akan dijabarkan secara singkat di sini.

    Pelayaran perdana Titanic ditujukan menjadi pelayaran lintas Atlantik pertama antara Southampton di Inggris, Cherbourg di Prancis, Queenstown di Irlandia, dan New York di Amerika Serikat, pulang melalui Plymouth di Inggris pada rute ke timur. White Star Line akan mengoperasikan tiga kapal pada rute ini: Titanic, Olympic, dan RMS Oceanic yang lebih kecil ukurannya. Masing-masing kapal akan berlayar tiga minggu sekali dari Southampton dan New York, biasanya berangkat pada siang hari setiap Rabu dari Southampton dan setiap Sabtu dari New York, sehingga memungkinkan White Star Line mengoperasikan pelayaran mingguan dari masing-masing kota. Kereta khusus dijadwalkan dari London dan Paris untuk mengangkut penumpang ke Southampton dan Cherbourg. Dermaga dalam di Southampton, yang saat itu bernama “White Star Dock”, telah dibangun sedemikian rupa untuk mengakomodasi kapal-kapal kelas Olympic yang baru dan dibuka tahun 1911

    Awak

    Titanic memiliki sekitar 885 awak kapal untuk pelayaran perdananya.Sebagaimana kapal-kapal lain pada masa itu, Titanic tidak mempunyai awak permanen, dan sebagian besar awaknya adalah pekerja biasa yang naik kapal beberapa jam sebelum berlayar dari Southampton. Proses perekrutan sudah dimulai pada 23 Maret dan beberapa di antara mereka telah dikirim ke Belfast, tempat mereka bekerja sebagai awak utama selama uji coba pelayaran laut Titanic dan perjalanan ke Inggris pada awal April

    Kapten Edward John Smith, kapten paling senior di White Star Line, ditransfer dari Olympic untuk mengambil alih kendali Titanic. Henry Tingle Wilde juga ditarik dari Olympic untuk bertugas sebagai Chief Mate. Chief Mate dan First Officer Titanic sebelumnya, William McMaster Murdoch dan Charles Lightoller, diturunkan pangkatnya masing-masing ke First dan Second Officer. Second Officer yang asli, David Blair, tidak jadi dipekerjakan.

    Awak Titanic dibagi menjadi tiga departemen utama; Dek, dengan 66 awak; Mesin, 325 orang; dan Makanan, 494 orang. Mayoritas awak kapal bukan pelaut, tetapi teknisi, pemadam kebakaran atau tukang api yang bertugas mengawasi mesin, atau pelayan dan staf dapur yang bertugas melayani penumpang. Dari jumlah tersebut, lebih dari 97% di antaranya adalah pria; hanya 23 awak yang wanita, biasanya bertugas sebagai pelayan. Sisanya mewakili berbagai profesi – tukang roti, koki, tukang daging, tukang ikan, pencuci piring, pengurus, instruktur gimnasium, petugas binatu, pelayan, pengatur tempat tidur, tukang bersih-bersih dan bahkan pencetak, yang mencetak harian Atlantic Daily Bulletin untuk penumpang dengan berita-berita terkini yang disampaikan melalui operator nirkabel kapal.

    Sebagian besar awak kapal mendaftar di Southampton pada tanggal 6 April; secara keseluruhan, 699 awak berasal dari sana, dan 40 persen di antaranya adalah warga asli kota tersebut. Sejumlah staf khusus ada yang mempekerjakan diri dan ada pula yang merupakan subkontraktor. Mereka meliputi lima petugas pos, yang bekerja untuk Royal Mail dan US Postal Service, staf Restoran A La Carte Kelas Satu dan Café Parisien, operator radio (dipekerjakan Marconi) dan delapan musisi, yang dipekerjakan oleh sebuah lembaga dan berangkat dengan status penumpang kelas dua. Gaji awak kapal sangat beragam, mulai dari Kapten Smith sebesar £105 per bulan (sama dengan £8.802 hari ini) hingga £3 10s (£2.934 hari ini) yang diterima pelayan. Staf makanan yang dibayar rendah bisa menambah gaji mereka melalui tip dari penumpang

    Penumpang

    Penumpang Titanic mencapai 1.317 orang: 324 di Kelas Satu, 284 di Kelas Dua, dan 709 di Kelas Tiga. 869 (66%) di antaranya adalah pria dan 447 (34%) wanita. Ada 107 anak-anak yang menumpang, kebanyakan adalah penumpang Kelas Tiga. Titanic dianggap belum mencukupi kapasitas pada saat pelayaran perdananya, karena kapal ini mampu menampung 2.566 penumpang – 1.034 di Kelas Satu, 510 di Kelas Dua dan 1.022 di Kelas Tiga.

    Biasanya, kapal mewah seperti Titanic sudah dipesan penuh saat pelayaran perdananya. Sayangnya, mogok batu bara nasional di Britania Raya mengakibatkan gangguan pada jadwal perkapalan musim semi 1912, sehingga banyak pelayaran lintas samudera dibatalkan. Banyak calon penumpang memilih untuk menunda rencana perjalanan mereka hingga mogok usai. Mogok tersebut selesai beberapa hari sebelum Titanic berlayar, tetapi sudah terlambat karena besarnya dampak yang dirasakan. Titanic hanya mampu berlayar pada tanggal yang dijadwalkan, karena batu baranya dipindahkan dari kapal lain yang berlabuh di Southampton, seperti City of New York dan Oceanic.

    Sejumlah orang berpengaruh saat itu memesan tiket Kelas Satu Titanic. Termasuk di antaranya adalah miliuner Amerika Serikat John Jacob Astor IV bersama istrinya Madeleine Force Astor, industrialis Benjamin Guggenheim, pemilik Macy’s Isidor Straus bersama istrinya Ida, miliuner asal Denver Margaret “Molly” Brown, Sir Cosmo Duff Gordon bersama istrinya, couturière Lucy (Lady Duff-Gordon), pemain kriket dan pebisnis John Borland Thayer bersama istrinya Marian dan anaknya Jack, Countess of Rothes, penulis dan sosialita Helen Churchill Candee, jurnalis dan aktivis reformasi sosial William Thomas Stead, penulis Jacques Futrelle bersama istrinya May, dan aktris film bisu Dorothy Gibson. Pemilik Titanic, J. P. Morgan dijadwalkan ikut dalam pelayaran perdananya, tetapi menyatakan batal pada menit terakhir.Selain itu, ada juga direktur pelaksana White Star Line J. Bruce Ismay dan desainer Titanic Thomas Andrews, yang ikut untuk mengamati masalah kapal dan menilai kinerja kapal baru tersebut secara umum.

    Jumlah pasti penumpang kapal tidak diketahui karena tidak semua pemesan tiket benar-benar naik ke kapal; sekitar lima puluh orang membatalkan perjalanannya dengan berbagai alasan, dan tidak semua penumpang tetap berada di kapal sepanjang perjalanannya.

    Tarif penumpang Titanic sangat bervariasi. Tarif Kelas Tiga dari London, Southampton, atau Queenstown adalah £7 5s (sama dengan £60.777 hari ini), sementara tarif Kelas Satu termurah adalah £23 (£1.928 hari ini). Kamar Kelas Satu paling mahal memakan biaya £870 pada musim liburan (£72.932 hari ini)

    Keberangkatan dan pelayaran ke barat

    Pada hari Rabu 10 April 1912, pelayaran perdana Titanic dimulai. Setelah embarkasi awak kapal, penumpang mulai tiba pukul 09.30 ketika kereta kapal London and South Western Railway dari stasiun Waterloo London tiba di stasiun kereta api Southampton Terminus di sisi dermaga, tepat di samping tempat berlabuhnya Titanic. Jumlah penumpang Kelas Tiga yang besar menandakan mereka yang berhak naik pertama, diikuti penumpang Kelas Satu dan Dua selama satu jam sebelum keberangkatan. Para petugas menunjukkan kabin-kabin mereka dan penumpang Kelas Satu secara pribadi disambut oleh Kapten Smith. Penumpang Kelas Tiga diperiksa kesehatan dan cacat fisiknya yang mungkin mengakibatkan mereka ditolak masuk Amerika Serikat – bukan sesuatu yang ingin dilihat White Star Line, karena penumpang-penumpang tersebut harus diangkut kembali melintasi Atlantik. 922 penumpang tercepat menaiki Titanic di Southampton. Penumpang lainnya dijemput di Cherbourg dan Queenstown.

    Pelayaran perdananya dimulai tepat waktu pada siang hari. Sebuah kecelakaan nyaris dihindari beberapa menit kemudian ketika Titanic berlayar di samping kapal SS City of New York dan Oceanic yang sedang berlabuh. Bobot raksasanya mengakibatkan kapal-kapal kecil tersebut terangkat oleh gelombang air yang besar dan jatuh ke lembah gelombang. Kabel labuh New York tidak sanggup menghadapi tegangan mendadak dan putus, sehingga kapal tersebut berayun buritan dulu ke arah Titanic. Kapal tunda di dekatnya, Vulcan, berusaha mengendalikan New York dan Kapten Smith memerintahkan agar mesin-mesin Titanic “dimundurkan penuh”. Kedua kapal menghindari tabrakan dengan beda jarak sekitar 4 kaki (1,2 m). Insiden ini menunda keberangkatan Titanic selama satu jam, sementara New York yang hanyut berhasil dikendalikan.

    Setelah berlayar dengan selamat melintasi serangkaian gelombang pasang dan selat di Southampton Water dan Solent, Titanic berlayar ke Selat Inggris. Kapal ini berlayar menuju pelabuhan Cherbourg di Prancis sejauh 77 mil laut (89 mi; 143 km). Cuaca saat ini berawan, agak baik namun dingin dan mendung. Karena Cherbourg tidak memiliki fasilitas dermaga untuk kapal seukuran Titanic, kapal tender dipakai untuk mentransfer penumpang dari daratan ke kapal. White Star Line mengoperasikan dua kapal di Cherbourg, SS Traffic dan SS Nomadic. Keduanya dirancang sedemikian rupa sebagai kapal tender untuk kapal kelas Olympic dan diluncurkan tidak lama setelah Titanic (Nomadic saat ini adalah satu-satunya kapal White Star Line yang masih beroperasi). Empat jam setelah Titanic meninggalkan Southampton, kapal tiba di Cherbourg dan disambut oleh kapal-kapal tender. 274 penumpang naik kapal dan 24 lainnya tinggal di kapal tender untuk diangkut kembali ke daratan. Proses ini berjalan selama 90 menit dan pada pukul 20.00 Titanic bongkar sauh dan berangkat ke Queenstown dengan cuaca dingin dan berangin.

    Pada pukul 11.30 hari Kamis 11 April, Titanic tiba di Cork Harbour di Irlandia selatan. Cuaca agak berawan namun relatif hangat dengan angin dingin. Lagi-lagi fasilitas dermaga yang ada tidak muat dengan ukuran kapal, dan kapal tender dipakai untuk membawa penumpang ke Titanic. 113 penumpang Kelas Tiga dan tujuh penumpang Kelas Dua naik kapal, sementara tujuh lainnya tinggal. Di antara penumpang yang naik adalah Bapa Francis Browne, seorang pengikut Jesuit, yang juga seorang fotografer dan mengambil banyak foto di dalam Titanic, termasuk foto terakhir kapal yang pernah diketahui. Keberangkatan tidak resmi juga ada ketika seorang awak kapal, tukang api John Coffey, warga asli Queenstown, menyelinap masuk kapal dengan bersembunyi di bawah kantung surat yang akan diangkut ke daratan. Titanic bongkar sauh untuk terakhir kalinya pada pukul 13.30 dan berlayar ke barat melintasi Atlantik

    Setelah meninggalkan Queenstown, Titanic menyusuri pesisir Irlandia hingga Fastnet Rock, kira-kira sejauh 55 mil laut (63 mi; 102 km). Dari sana, kapal ini berlayar sejauh 1.620 mil laut (1.860 mi; 3.000 km) mengikuti rute Lingkaran Besar melintasi Atlantik Utara untuk mencapai titik di samudra yang dikenal sebagai “sudut” di tenggara Newfoundland, tempat kapal-kapal uap yang berlayar ke barat melakukan perubahan arah pelayaran. Posisi Titanic hanya beda beberapa jam dari sudut tersebut, yang berada di jalur loksodrom sejauh 1.023 mil laut (1.177 mi; 1.895 km) menuju Nantucket Shoals Light, ketika kapal mengalami tabrakan fatal dengan gunung es.Jalur terakhir pelayaran adalah sejauh 193 mil laut (222 mi; 357 km) menuju Ambrose Light dan akhirnya tiba di New York Harbor.Tiga hari pertama pelayarannya dari Queenstown berlalu tanpa kecelakaan. Mulai 11 April hingga siang tampak setempat keesokan harinya, Titanic telah berlayar sejauh 484 mil laut (557 mi; 896 km); hari selanjutnya, 519 mil laut (597 mi; 961 km); dan pada siang hari terakhir pelayarannya, 546 mil laut (628 mi; 1.011 km). Sejak itu sampai waktu tenggelamnya, kapal ini telah berlayar sejauh 258 mil laut (297 mi; 478 km) dengan kecepatan rata-rata 21 knot (24 mph; 39 km/h).Cuaca saat kapal meninggalkan Irlandia cerah dengan langit berawan dan angin haluan. Suhu sejuk sepanjang Sabtu 13 April, tetapi keesokan harinya Titanic melewati front cuaca dingin dengan angin kencang dan gelombang setinggi 8 kaki (2,4 m). Cuaca buruk tersebut mereda seiring waktu sampai Minggu sore 14 April, cuaca cerah, tenang, dan sangat dingin.

    Titanic menerima serangkaian peringatan dari kapal-kapal lain akan keberadaan es hanyut di wilayah Grand Banks of Newfoundland.Meski begitu, kapal ini terus berlayar dengan kecepatan penuh, yang merupakan praktik standar pada masa itu. Saat itu diyakini secara luas bahwa es adalah ancaman kecil bagi kapal besar dan Kapten Smith sendiri mengatakan bahwa ia tidak bisa “membayangkan kondisi apapun yang akan mengakibatkan kapal tenggelam. Pembangunan kapal modern sudah mengatur semuanya.”

    Tenggelam

    Pada pukul 23.40 (waktu kapal), pengawas Frederick Fleet melihat gunung es tepat di depan Titanic dan memberitahu anjungan. First Officer William Murdoch memerintahkan kapal dibelokkan mengitari es dan mesin dimundurkan, tetapi sudah terlambat; sisi kanan Titanic menabrak gunung es, sehingga menciptakan serangkaian lubang di bawah garis air. Lima kompartemen kedap air kapal bocor. Semakin jelas bahwa kapal ini terancam, karena kapal ini tidak bisa selamat jika lebih dari empat kompartemen bocor. Titanic mulai tenggelam haluan dulu, dengan air masuk dari satu kompartemen ke kompartemen lain ketika sudut kapal di air semakin curam.

    Para penumpang Titanic belum siap menghadapi situasi darurat semacam itu. Sekoci kapal hanya cukup mengangkut setengah dari total penumpang yang ada; jika kapal penuh penumpang, hanya sekitar sepertiganya yang bisa diangkut sekoci. Awak kapal pun belum dilatih dengan baik dalam melakukan evakuasi. Para petugas tidak tahu berapa banyak orang yang bisa mereka angkut ke sekoci dan meluncurkan sebagian besar sekoci dalam keadaan setengah penuh. Penumpang kelas tiga kebanyakan ditinggalkan berjuang sendiri, sehingga banyak yang terperangkap di bawah dek ketika kapal terisi air. Protokol “wanita dan anak-anak dahulu” dipatuhi secara umum dalam pembuatan sekoci dan sebagian besar penumpang dan awak pria ditinggalkan di kapal.

    Dua jam empat puluh menit setelah Titanic menabrak gunnug es, tingkat tenggelamnya tiba-tiba meningkat sementara dek depannya sudah berada di bawah air dan air laut mengalir masuk palka-palka yang terbuka. Ketika buritannya yang tidak tertopang naik dari air sampai menampakkan baling-balingnya, kapal ini terbelah antara cerobong ketiga dan keempat akibat tekanan yang luar biasa pada lunasnya. Bagian buritan tetap terapung selama beberapa menit dengan sudut hampir vertikal dan ratusan orang yang bertahan di sana. Pada pukul 1.20, kapal tenggelam dan terpisah dari haluannya. Penumpang dan awak yang selamat tercebur ke air dingin yang mematikan dengan suhu 28 °F (−2 °C). Hampir semua orang di air tewas akibat hipotermia atau serangan jantung dalam hitungan menit atau tenggelam. Hanya 13 orang yang berhasil diselamatkan ke sekoci, padahal sekoci tersebut sanggup menampung hampir 500 orang lagi.

    Sinyal darurat dikirim melalui peralatan nirkabel, roket dan lampu, tetapi tidak satupun kapal yang merespon berada dalam jarak dekat untuk mencapai Titanic sebelum tenggelam. Sebuah kapal yang kebetulan dekat, Californian, yang merupakan kapal terakhir yang berkomunikasi dengan Titanic sebelum tabrakan, melihat sinyalnya namun terlambat memberi bantuan. Sekitar pukul 04.00, RMS Carpathia tiba di tempat kejadian sebagai respon terhadap panggilan darurat Titanic sebelumnya. 710 orang selamat dari bencana ini dan mereka diangkut oleh Carpathia ke New York, kota tujuan Titanic, sementara 1.517 orang lainnya tidak selamat

     

    Dampak peristiwa

    Kedatangan Carpathia di New York

    Carpathia memakan tiga hari untuk mencapai New York setelah meninggalkan tempat kejadian. Pelayarannya terhambat oleh es hanyut, kabut, badai petir dan laut yang tidak bersahabat. Kapal ini berhasil menyebarkan berita tentang bencana ini ke seluruh dunia menggunakan peralatan nirkabel. Laporan awalnya kurang jelas, sehingga pers Amerika Serikat salah melaporkan pada tanggal 15 April bahwa Titanic sedang ditarik ke pelabuhan oleh SS Virginian.

    Pada hari itu juga, muncul konfirmasi bahwa Titanic tenggelam dan sebagian besar penumpang beserta awaknya tewas. Berita ini menarik kerumunan orang ke kantor-kantor White Star Line di London, New York, Southampton,Liverpool dan Belfast.] Dampak terbesar terjadi di Southampton, tempat penduduknya mengalami kehilangan terbesar akibat tenggelamnya kapal. 4 dari 5 awak Titanic berasal dari kota ini.

    Surat kabar milik Salvation Army, The War Cry, melaporkan bahwa “tak ada seorang pun selain hati yang membatu yang tidak tergetar melihat penderitaan seperti ini. Siang dan malam kerumunan wajah yang pucat dan gelisah menunggu dengan sabar berita yang tak kunjung datang. Hampir setiap orang yang ada dalam kerumunan itu kehilangan seorang kerabatnya.” Baru pada tanggal 17 April daftar korban selamat pertama yang tidak lengkap diumumkan, karena tertunda akibat komunikasi buruk.

    Carpathia merapat pada pukul 21:30 tanggal 18 April di Pier 54 New York dan disambut oleh sekitar 40.000 orang yang menunggu di sisi dermaga dalam kondisi hujan deras.Bantuan langsung berbentuk pakaian dan transportasi ke tempat perlindungan diberikan oleh Women’s Relief Committee, Travelers Aid Society of New York, Council of Jewish Women, dan lain-lain. Banyak di antara penumpang Titanic yang selamat tidak menetap di New York, namun langsung berangkat ke rumah kerabatnya. Sejumlah korban selamat yang kaya menyewa kereta pribadi untuk membawa mereka pulang, dan Pennsylvania Railroad menyediakan layanan kereta khusus secara gratis untuk mengangkut korban selamat ke Philadelphia. 214 awak Titanic yang selamat dibawa ke kapal uap SS Lapland milik Red Star Line, tempat mereka menetap sementara di kabin penumpang.Carpathia dengan cepat diisi kembali persediaan makanan dan perlengkapannya sebelum melanjutkan pelayarannya ke Fiume, Austria-Hungaria. Para awak kapalnya diberikan bonus sebesar gaji bulanannya oleh Cunard sebagai hadiah atas tindakan mereka, dan sejumlah penumpang Titanic bersama-sama memberikan mereka bonus tambahan sebesar £900 (£75.447 hari ini) yang dibagi-bagi kepada sesama awak kapal.

    Kedatangan kapal di New York menarik perhatian pers, dengan berbagai surat kabar berlomba-lomba menjadi yang pertama melaporkan kesaksian korban selamat. Sejumlah wartawan menyuap untuk naik kapal pilot New York, yang memandu Carpathia ke pelabuhan, dan seorang wartawan bahkan berusaha masuk Carpathia sebelum merapat ke dermaga. Kerumunan berkumpul di luar kantor-kantor surat kabar untuk melihat laporan terkini ditempelkan di jendela atau papan berita. Butuh empat hari lagi untuk mengumpulkan dan merilis daftar lengkap korban bencana, sehingga menambah kesedihan para kerabat yang menunggu berita tentang para penumpang Titanic. Pada tanggal 23 April, Daily Mail melaporkan:

    “Pada akhir sore itu harapan hilang sudah. Orang-orang yang menunggu semakin berkurang jumlahnya, dan pria maupun wanita pulang dalam keadaan diam. Di Southampton yang rendah hati nyaris tidak ada keluarga yang tidak kehilangan seorang kerabat atau temannya. Anak-anak yang pulang dari sekolah mengetahui tragedi tersebut, dan wajah-wajah kecil yang sedih berpaling ke rumah gelap tanpa ayah.”

    Banyak badan amal didirikan untuk membantu korban dan keluarga mereka, banyak di antaranya kehilangan satu-satunya sumber nafkah mereka, atau semua harta benda yang dimiliki sebagian besar korban selamat dari Kelas Tiga. Pada tanggal 29 April, bintang opera Enrico Caruso dan Mary Garden serta anggota Metropolitan Opera mengumpulkan $12.000 untuk membantu korban bencana dengan mengadakan konser khusus yang memperdengarkan berbagai versi “Autumn” dan “Nearer My God To Thee”. Di Britania, dana bantuan dikumpulkan untuk keluarga awak kapal Titanic yang tewas, dengan total hampir £450.000 (£37.723.552 hari ini). Pengumpulan dana tersebut masih dilakukan sampai akhir 1960-an

    Penyelidikan bencana

    Bahkan sebelum korban selamat tiba di New York, penyelidikan sudah direncanakan untuk mencari tahu apa yang terjadi, dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah terulangnya kembali bencana seperti ini. Senat Amerika Serikat memulai penyelidikan bencana pada tanggal 19 April, sehari setelah Carpathia tiba New York

    Ketua penyelidikan, Senator William Alden Smith, ingin mengumpulkan kesaksian para penumpang dan awak selagi kejadian tersebut masih segar dalam ingatan mereka. Smith juga perlu mengirim surat panggilan kepada seluruh penumpang dan awak Britania yang selamat selagi mereka masih ada di Amerika Serikat, sehingga mencegah mereka pulang ke Britania Raya sebelum penyelidikan Amerika Serikat selesai tanggal 25 Mei.Pers Britania mencela Smith sebagai seorang oportunis yang secara tidak sensitif memaksakan sebuah penyelidikan untuk mendapatkan prestise politik dan merebut “momennya untuk berdiri di panggung dunia”. Kendati begitu, Smith sudah mempunyai reputasi sebagai seorang aktivis keselamatan kereta api di Amerika Serikat, dan ingin menginvestigasi setiap malpraktik yang mungkin dilakukan oleh pebisnis kereta api J. P. Morgan, pemilik sejati Titanic.

    Lord Mersey ditunjuk sebagai ketua penyelidikan bencana oleh British Board of Trade, yang dilaksanakan antara 2 Mei dan 3 Juli. Masing-masing penyelidikan berusaha mempelajari kesaksian dari penumpang dan awak Titanic, awak Californian milik Leyland Line, Kapten Arthur Rostron dari Carpathia dan para pakar lainnya. Kedua penyelidikan mencapai simpulan yang umumnya sama; regulasi mengenai jumlah sekoci yang harus diangkut kapal sudah kedaluwarsa dan tidak cocok lagi, Kapten Smith gagal menanggapi peringatan es dengan baik, sekoci-sekoci tidak terisi atau terawaki dengan baik, dan tabrakan yang terjadi adalah akibat langsung dari pelayaran ke zona bahaya dalam kecepatan sangat tinggi.

    Rekomendasi yang diberikan meliputi perubahan besar-besaran regulasi maritim untuk memberlakukan peraturan keselamatan baru, seperti menjamin bahwa jumlah sekoci yang disediakan lebih banyak, latihan sekoci dilaksanakan dengan baik dan peralatan nirkabel di kapal penumpang selalu diawasi petugas selama 24 jam. International Ice Patrol didirikan untuk mengawasi keberadaan gunung es di Atlantik Utara, dan regulasi keselamatan maritim diperkenalkan ke dunia internasional melalui Konvensi Internasional untuk Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS). Kedua peraturan tersebut masih berlaku sampai sekarang

    Peran SS Californian

    Salah satu masalah paling kontroversial yang dipelajari dalam penyelidikan tersebut adalah peran yang dimainkan kapal SS Californian, yang saat itu terletak beberapa mil saja dari Titanic tetapi tidak menanggapi panggilan darurat ataupun roket sinyalnya. Testimoni kepada penyelidikan Britania mengungkapkan bahwa pada pukul 20:10, Californian melihat cahaya sebuah kapal di selatan, yang kemudian disetujui oleh Kapten Stanley Lord dan Perwira Ketiga C.V. Groves (yang menggantikan tugas Lord pada pukul 23:10) sebagai kapal penumpang. Californian telah memperingatkan Titanic melalui radio akan keberadaan es hanyut yang menjadi alasan Californian berhenti berlayar pada malam itu, akan tetapi ditegur oleh operator nirkabel senior Titanic, Jack Phillips. Pada pukul 23:50, perwira Californian melihat cahaya kapal menghilang, seolah-olah mati atau belok tajam, dan hanya cahaya sisi kirinya yang tampak. Sinyal lampu Morse diarahkan ke kapal tersebut atas perintah Lord antara pukul 23:30 dan 01:00, tetapi tidak ditanggapi.

    Kapten Lord masuk ruang peta pada pukul 23:00 untuk menghabiskan malam itu, tetapi Perwira Kedua Herbert Stone yang saat itu bertugas, memberitahu Lord pada pukul 01:10 bahwa kapal tersebut menembakkan 5 roket. Lord ingin tahu apakah itu sinyal perusahaan, yang berarti suar berwarna yang dipakai untuk identifikasi. Stone mengatakan bahwa ia tidak tahu dan semua roketnya putih. Kapten Lord menginstruksikan awaknya untuk terus memberi sinyal kepada kapal lain dengan lampu morse, dan kembali tidur. Tiga roket lain terlihat pukul 01:50 dan Stone melihat kapal tersebut tampak aneh di air, seolah-olah miring ke satu sisi. Pada pukul 02:15, Lord diberitahu bahwa kapal tersebut tidak terlihat lagi. Lord bertanya lagi apakah cahaya yang muncul memiliki warna, dan ia diberitahu bahwa semuanya putih.

    Californian akhirnya menanggapi. Pada sekitar pukul 05:30, Kepala Perwira George Stewart membangunkan operator nirkabel Cyril Firmstone Evans, memberitahunya bahwa sepanjang malam terlihat banyak roket, dan memintanya untuk mencoba berkomunikasi dengan kapal manapun. Ia mendapat kabar mengenai tenggelamnya Titanic, Kapten Lord diberitahu, dan Californian diperintahkan untuk memberi bantuan. Kapal ini tiba setelah Carpathia selesai mengangkut semua korban selamat.

    Penyelidikan ini menyimpulkan bahwa kapal yang dilihat California adalah Titanic dan Californian punya kemungkinan besar untuk datang menyelamatkan Titanic. Sayangnya, Kapten Lord bertindak buruk dalam menangani hal tersebut

    Korban selamat dan tewas

    Jumlah korban tenggelamnya Titanic tidak jelas akibat adanya beberapa faktor, termasuk perbedaan daftar penumpang, yang mencakup nama-nama orang yang membatalkan perjalanan mereka pada menit terakhir, dan fakta bahwa sejumlah penumpang memakai alias atas berbagai alasan dan terhitung dua kali di daftar korban. Jumlah korban tewas diperkirakan antara 1.490 dan 1.635 orang. Jumlah di bawah diperoleh dari laporan Board of Trade Britania Raya tentang bencana ini

    Kurang dari sepertiga penumpang Titanic selamat dari bencana ini. Beberapa korban selamat meninggal tidak lama setelah itu; luka dan dampak terpapar air dingin mengakibatkan kematian beberapa korban selamat di kapal Carpathia. Jumlah ini menunjukkan perbedaan tingkat selamat yang mencolok dari berbagai kelas penumpang Titanic. Meski hanya 3 persen wanita kelas satu yang tewas, 54 persen wanita di kelas tiga tewas. Sama juga, lima dari enam anak-anak kelas satu dan semua anak-anak kelas dua selamat, tetapi 52 dari 79 anak-anak kelas tiga tewas. Korban selamat terakhir yang masih hidup, Millvina Dean dari Inggris, yang pada usia sembilan minggu menjadi penumpang termuda di kapal ini, meninggal dunia tanggal 31 Mei 2009 pada usia 97 tahu

    Pengangkatan dan pemakaman jenazah

    Setelah jumlah korban tewas yang besar diketahui masyarakat, White Star Line menyewa kapal kabel CS Mackay-Bennett dari Halifax, Nova Scotia untuk mengangkat jenazah. Tiga kapal Kanada lainnya ikut serta dalam pencarian, yaitu kapal kabel Minia, kapal persediaan mercusuar Montmagny dan kapal nelayan Algerine. Masing-masing kapal dipenuhi persedian balsem, pengurus pemakaman, dan pendeta. Dari 333 korban yang berhasil diangkat, 328 diantaranya diangkat oleh kapal Kanada dan lima lagi oleh beberapa kapal uap Atlantik Utara yang kebetulan lewat. Pada pertengahan Mei 1912, RMS Oceanic mengangkat tiga jenazah penumpang asli Collapsible A sekitar 200 mil (320 km) dari tempat kejadian. Ketika Perwira Kelima Harold Lowe dan enam awak kapal kembali ke tempat kejadian menggunakan sekoci untuk mengangkat korban selamat, mereka menyelamatkan seorang wanita dari Collapsible A, tetapi meninggalkan jenazah tiga penumpangnya. Setelah diangkat dari Collapsible A oleh Oceanic, jenazah-jenazah tersebut dimakamkan di laut.

    Kapal pengangkut jenazah pertama yang mencapai tempat kejadian, yaitu kapal kabel CS Mackay-Bennett, menemukan begitu banyak jenazah sampai-sampai persediaan balsem di kapal cepat habis, dan regulasi kesehatan mensyaratkan bahwa hanya jenazah yang telah dibalsem yang boleh masuk pelabuhan.Kapten Lavender dari Mackay-Bennett dan para pengurus makam di kapal memutuskan untuk melindungi jenazah penumpang kelas satu saja, sambil menegaskan keputusan mereka dengan perlunya mengidentifikasi orang-orang kaya secara visual untuk menyelesaikan sengketa apapun terkait rumah-rumah besar yang mereka miliki. Akibatnya, penumpang dan awak kelas tiga dimakamkan di laut. Lavender sendiri mengklaim bahwa sebagai seorang pelaut, ia juga ingin dimakamkan di laut.

    Jenazah yang berhasil diangkat diberangkatkan ke Halifax, kota terdekat dengan lokasi tenggelamnya kapal yang mempunyai jalur kereta api dan kapal uap. Koroner Halifax, John Henry Barnstead, mengembangkan sistem terperinci untuk mengidentifikasi jenazah dan barang-barang pribadi. Kerabat korban dari seluruh Amerika Utara datang untuk mengidentifikasi dan mengklaim jenazah. Sebuah kamar jenazah sementara berukuran besar didirikan di gelanggang curling dan para pengurus makam dipanggil dari seluruh Kanada Timur untuk membantu.Beberapa jasad dikirimkan untuk dimakamkan di kampung halaman mereka di seluruh Amerika Utara dan Eropa. Sekitar dua per tiga jenazah berhasil dikenali. Korban yang tidak dikenali dimakamkan dengan nomor-nomor biasa berdasarkan urutan penemuannya. Sebagian besar korban yang berhasil diangkat, 150 jenazah, dimakamkan di tiga pemakaman Halifax, yang terbesar adalah Fairview Lawn Cemetery diikuti Mount Olivet dan Baron de Hirsch

    Bangkai

    Selama beberapa tahun banyak skema dirancang untuk mengangkat bangkainya. Tidak satupun skema yang terwujud. Masalah utamanya adalah kesulitan menemukan dan mencapai bangkai yang tergeletak lebih dari 12,000 kaki (3,658 m) di bawah permukaan laut, di sebuah lokasi yang tekanan airnya melebihi 6.500 pon per inci persegi. Sejumlah ekspedisi dilakukan untuk menemukan Titanic sampai akhirnya berhasil ditemukan oleh ekspedisi Prancis Amerika Serikat pada tanggal 1 September 1985.

    Tim tersebut menemukan bahwa Titanic terbelah dua, mungkin tidak jauh di bawah permukaan air sebelum akhirnya mendarat di dasar laut. Bagian haluan dan buritannya terpisah sejauh sepertiga mil (0,6 km) di ngarai landas kontinen di lepas pantai Newfoundland. Keduanya terletak 132 mil (212 km) dari koordinat yang salah diberikan oleh operator radio Titanic pada malam tenggelamnya kapal.Kedua bagian kapal menghantam dasar laut dengan kecepatan yang mengakibatkan haluan remuk dan buritan runtuh sepenuhnya. Bagian haluan adalah bagian yang lebih utuh ketimbang buritannya dan masih mempunyai interior yang lumayan utuh. Berbeda dengan haluan, buritan hancur sepenuhnya; geladaknya saling bertumpukan dan sebagian besar lambungnya terkoyak dan tersebar di dasar laut. Tingkat kerusakan yang lebih besar pada buritan mungkin diakibatkan oleh kerusakan struktural ketika tenggelam. Akibat terlalu lemah, sisa buritan tertekan akibat menghantam dasar laut.

    Kedua bagian dikelilingi sebaran puing seluas hampir 5 x 3 mil (8,0 km × 4,8 km). Sebaran ini terdiri dari ratusan ribu barang, seperti bagian-bagian kapal, furniture, peralatan makan, dan barang pribadi, yang jatuh dari kapal ketika tenggelam atau terlempar ketika haluan dan buritan menghantam dasar laut.Sebaran puing ini juga merupakan tempat peristirahatan terakhir bagi sejumlah korban Titanic. Jenazah dan pakaian mereka dikonsumsi oleh makhluk laut dan bakteri, sehingga meninggalkan sepasang sepatu dan bot – yang tidak bisa dimakan – sebagai satu-satunya tanda bahwa pernah ada jenazah di sana.

    Sejak ditemukan kembali, bangkai Titanic sudah dikunjungi beberapa kali oleh para penjelajah, ilmuwan, pembuat film, wisatawan dan penyelamat harta, yang berhasil mengangkat ribuan barang dari sebaran puing untuk dilindungi dan dipamerkan kepada publik. Kondisi kapal memburuk dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir, sebagian dikarenakan oleh kerusakan tidak sengaja yang dilakukan kapal selam serta peningkatan tingkat pertumbuhan bakteri pemakan besi di lambung kapal. Diperkirakan bahwa dalam 50 tahun berikutnya, lambung dan struktur Titanic akan runtuh seluruhnya dan meninggalkan bagian interior kapal yang bercampur dengan tumpukan besi karat di dasar laut.

    Banyak artefak Titanic diangkat dari dasar laut oleh RMS Titanic Inc., yang memamerkannya melalui tur pameran di seluruh dunia dan pameran permanen di hotel dan kasino Luxor Las Vegas di Las Vegas, Nevada. Sejumlah museum memamerkan artefak yang disumbangkan korban selamat atau didapatkan dari jenazah korban yang mengapung di laut.

    Peninggalan

    Budaya

    Dalam dunia sastra, “tenggelam seperti Titanic” adalah sebuah simile yang berarti kegagalan besar, sebagaimana berbagai referensi mengenai kapal atau peristiwa tenggelamnya. Prinsip kelautan bahwa seorang kapten tenggelam bersama kapalnya sering dijadikan Referensi terhadap Titanic dan Kapten Smith yang melakukannya. Motif “band bermain ketika kapal tenggelam” hampir merujuk secara eksklusif pada kapal Titanic. Tragedi ini telah menginspirasi banyak buku dan film, terutama film A Night to Remember tahun 1958 dan Titanic yang disutradarai James Cameron.Kedua film disambut baik oleh para kritikus dan film yang terakhir disebutkan tadi, setelah dirilis pada tanggal 19 Desember 1997, memperoleh kesuksesan komersial yang luar biasa. Film ini mendapatkan empat belas nominasi Academy Awards dan memenangkan sebelas di antaranya, serta mendapatkan hadiah untuk kategori Best Picture dan Best Director. Dengan pendapatan kotor di seluruh dunia sebesar $1,8 miliar, Titanic adalah film pertama yang mencapai angka miliaran dolar dan menjadi film terlaris sepanjang masa selama dua belas tahun (sampai dikalahkan film Cameron sendiri, Avatar, pada tahun 2010).Titanic juga menjadi film epik terbaik keenam sepanjang masa dalam daftar AFI’s 10 Top 10 yang disusun American Film Institute

     

    Legenda dan mitos

    Titanic dikisahkan dalam sejarah sebagi kapal yang disebut-sebut tidak bisa tenggelam.Tetapi, kendati disebut seperti itu di berbagai berita pasca bencana, faktanya adalah baik The White Star Line maupun Harland and Wolff tidak menyebutnya tidak bisa tenggelam, hanya seolah-olah tidak bisa tenggelam. Kisah terkenal lainnya adalah bahwa band kapal yang dipimpin Wallace Hartley terus bermain secara heroik sementara kapal uap ini tenggelam. Ini tampaknya benar, tetapi ada informasi yang saling bertentangan mengenai lagu yang dimainkan terakhir kali. Banyak orang mengatakan lagu tersebut adalah “Nearer, My God, to Thee”, sementara yang lainnya menyebut “Autumn”.Terakhir, sebuah mitos yang tersebar luas adalah bahwa sinyal bahaya kode Morse yang diakui secara internasional, “SOS”, pertama kali dipakai ketika Titanic tenggelam. Memang benar operator nirkabel Britania jarang sekali memakai sinyal “SOS” pada masa itu dan memilih kode “CQD”, “SOS” sudah dipakai secara internasional sejak 1908. Operator nirkabel pertama Titanic, Jack Phillips, mengirimkan “SOS” dan “CQD” dalam panggilan daruratnya

     

    Tugu peringatan dan museum

    Di Southampton, Inggris, tugu peringatan untuk para teknisi Titanic dapat ditemukan di Andrews Park di Above Bar Street. Dekat tugu utama, di sudut Cumberland Place dan London Road, terdapat Titanic Musicians’ Memorial untuk memperingati Pimpinan Band Wallace Hartley dan musisi lain yang terus bermain ketika kapal tenggelam. Ada tugu peringatan lain yang ditujukan kepada Wallace Hartley di kampung halamannya di Colne, Lancashire.

    Sebuah tugu peringatan untuk lima karyawan pos kapal, yang bertuliskan “Steadfast in Peril”, didirikan oleh Southampton Heritage Services.

    Di Cobh (dikenal sebagai Queenstown sejak 1849 sampai 1920), County Cork, Irlandia, sebuah tugu peringatan Titanic berdiri di pusat kota.Queenstown adalah pelabuhan jemput terakhir bagi kapal ini sebelum berlayar melintasi Atlantik pada tanggal 11 April 1912. Sebuah kebun peringatan yang dilengkapi dinding kaca besar bercantumkan semua nama penumpang Titanic akan dibangun di Cobh untuk memperingati satu abad tenggelamnya kapal.

    Banyak awak kapal Titanic yang berasal dari Liverpool, termasuk enam teknisi seniornya.Memorial to the Engine Room Heroes of the Titanic berdiri di Pier Head, Liverpool City Centre, dekat bekas kantor pusat White Star Line. Sebuah plakat peringatan yang memperingati orkestra ternama kapal ini (yang terbentuk di Liverpool dan meliputi warga Liverpool, John Frederick Clarke) dipasang di dalam Philharmonic Hall di Hope Street

    Titanic Memorial di Belfast, Irlandia Utara diresmikan tanggal 26 Juni 1920. Di sisi alas tiang tercantum nama dari dua puluh dua pria Belfast yang tewas dalam bencana ini. Tugu ini adalah bagian tengah dari kebun peringatan Titanic yang berukuran kecil dan akan diresmikan pada 15 April 2012, tepat satu abad setelah bencana terjadi.

    Pada tanggal 31 Maret 2012, Titanic Belfast, sebuah tempat wisata senilai £77 juta yang dibangun di lahan bekas galangan kapal Harland and Wolff tempat Titanic dibangun resmi dibuka untuk umum.Arsitekturnya menyerupai Titanic itu sendiri, dengan fasada eksternalnya yang membentuk lambung raksasa kapal tersebut. Markah tanah ini berdiri di Titanic Quarter, sebelah timur Belfast, berjarak beberapa menit berjalan kaki dari ruang gambar lama tempat Thomas Andrews membuat rancangan kapal tersebut.

    Sebuah tugu peringatan untuk 36 teknisi yang tewas dalam bencana didirikan di foyer Scottish Opera, Elmbank Street, Glasgow, sebelumnya kantor pusat Institution of Engineers and Shipbuilders in Scotland, yang para anggotanya turut menyumbang untuk pendirian tugu ini. Tugu ini diresmikan pada tanggal 15 April 1914.

    Para pria Titanic yang mengorbankan nyawanya agar wanita dan anak-anak bisa diselamatkan diperingati oleh Titanic Memorial di Washington, D.C., dan ada pula tugu peringatan untuk Ida Straus di Straus Park, Manhattan, New York.

    Museum Titanic tertua di Amerika Serikat berada di India Orchard, Massachusetts. Didirikan tahun 1963, Titanic Historical Society Museum memiliki banyak artefak asli dari kapal Titanic, termasuk pelampung Mrs. John Jacob Astor, cetak biru, dan memorabilia lainnya. Museum bersama Titanic Historical Society sering menyewakan artefak-artefak tersebut kepada berbagai museum besar di seluruh Amerika Serikat.

    Banyak artefak dipamerkan di National Maritime Museum di Greenwich, Inggris, sebagai bagian dari tur pameran ke museum ini. Merseyside Maritime Museum di kota asal Titanic, Liverpool, juga memiliki beragam koleksi artefak dari bangkai yang dipamerkan dalam pameran permanen bernama ‘Titanic, Lusitania and the Forgotten Empress’.

    Sebagian puing apung yang diangkat bersama jenazah korban pada tahun 1912 dapat dilihat di Maritime Museum of the Atlantic, Halifax, Nova Scotia. Barang-barang lainnya adalah bagian dari tur pameran Titanic: The Artifact Exhibition. Sebuah tempat wisata baru bernama Branson Titanic Museum yang dibuka tahun 2006 di Missouri, Amerika Serikat, adalah sebuah museum bertingkat dua permanen berbentuk kapal RMS Titanic. Museum ini dibangun setengah ukuran aslinya dan berisikan 400 artefak sebelum penemuan bangkai yang tersebar di dua puluh galeri

    Peringatan 100 tahun

    Pada pukul 12:13 tanggal 31 Mei 2011, tepatnya 100 tahun setelah Titanic diluncurkan dari galangan kapal, sebuah suar ditembakkan di kawasan galangan kapal Belfast untuk memperingatinya. Semua kapal di wilayah sekitar galangan kapal Harland and Wolff kemudian membunyikan klakson dan kerumunan yang ada bertepuk tangan selama 62 detik, waktu yang diperlukan untuk meluncurkan kapal dari galangannya pada tahun 1911. Pada tanggal 12 Maret 2012, BBC Songs Of Praise, dari Belfast, membentuk tugu peringatan Titanic. Program ini menyiarkan serangkaian hymne maritim dan diakhiri Nearer, My God, to Thee, yang dianggap sebagai lagu terakhir yang dimainkan band kapal

    Pada tanggal 4 April 2012, 100 tahun setelah rampungnya pembangunan Titanic dan pelayaran perdananya diperingati dengan peluncuran kembali film Titanic tahun 1997 dalam wujud 3D. ITV1 telah membuat miniseri Titanic empat episode yang dikarang oleh pemenang Oscar, Julian Fellowes, dan ditayangkan pada awal 2012. Sebuah drama panggung berjudul Iceberg – Right Ahead! akan dipentaskan di Upstairs at the Gatehouse, London pada 22 Maret sampai 22 April 2012; Lyric Theatre, Belfast mementaskan White Star of the North; dan pentas teater Sea Odyssey diadakan di Liverpool.

    Royal Philharmonic Orchestra akan memainkan The Titanic Requiem, sebuah karya musik gubahan penyanyi/penulis lagu Robin Gibb dan putranya RJ Gibb, pada tanggal 10 April di London. Acara ini akan melibatkan permainan hologram yang menampilkan laut, kapal, dan gunung es.

    Kapal pesiar Balmoral yang dioperasikan Fred Olsen Cruise Lines disewa oleh Miles Morgan Travel untuk mengikuti rute asli Titanic dan berhenti di atas dasar laut tempat kapal tersebut tenggelam pada 15 April 2012.

    Sea City Museum di Southampton, Hampshire akan dibuka pada 10 April 2012, tanggal ketika RMS Titanic melakukan pelayaran perdananya dari Southampton. Museum ini akan memamerkan 2000 tahun sejarah laut Southampton, serta memperingati 549 penduduk kota yang tenggelam bersama Titanic